21 April 2010

Oentoek Negeri dan Adindakoe

Tangan keriputnya memegang selembar foto hitam putih yang nampak usang dan terlipat.
Foto bergambar seorang laki-laki berperawakan tinggi, gagah, berpakaian tentara perjuangan tempo dulu, memegang senjata laras panjang, lengkap dengan bendera merah putih yang terikat di lengan kanannya.
Dibelakang lembaran foto itu terdapat tulisan tangan yg sudah agak luntur, namun masih bisa terbaca jelas : "oentoek adindakoe".

Lelehan air mata mulai membasahi pipi tirus perempuan tua itu.
Nampaknya foto tersebut meninggalkan sebuah kenangan yang begitu berarti baginya.
Apakah karena sosok laki-laki yang ada di foto itu?
Siapa laki-laki itu?

Perempuan tua itu mencoba mengingat dan menceritakan tentang laki-laki yang ada di dalam foto tersebut....


............




Tahun 1942.

Laki-laki itu sering datang ke tokoku.
Toko kelontong yang letaknya bersebelahan dengan markas tentara perjuangan.
Dan entah kenapa laki-laki itu selalu datang pada saat giliranku yang menjaga toko.

Suatu siang.
Laki-laki itu sudah berdiri di depan tokoku.
Belum sempat ia berbicara, tanganku menyodorkan sebungkus sabun cuci kepadanya.
Dengan mimik heran ia bertanya, "Darimana kamu tau aku mau beli sabun cuci?"
"Tiap satu minggu sekali kamu pasti membeli sabun cuci. Dan seingatku terakhir kamu membeli sabun cuci adalah hari jum'at minggu yang lalu. Pasti sekarang sabun cucimu sudah habis. nih....", jawabku sambil menyodorkan lagi bungkusan sabun cuci itu kepadanya.
"Wah, selain toko ini lengkap, toko ini juga tau ya kapan aku akan datang lagi ke toko ini.", ujar laki-laki itu sambil mengambil bungkusan sabun cuci yang ada di tanganku.
"yaa, karena kamu sering berbelanja disini, sampai-sampai aku hapal apa yg akan kamu beli."
"Hampir setiap hari aku datang ke toko ini, tapi aku tidak pernah tahu nama kamu. kenalkan, namaku Mahesa." kata laki-laki itu sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Namaku Adinda, panggil saja Dinda". jawabku sambil menyalami tangannya.

Itulah awal perkenalanku dengan laki-laki tersebut.
Namanya Mahesa.
Karena seringnya kami bertemu dan berbincang, akhirnya kami saling menyukai dan jatuh cinta.


*

Pada waktu itu tentara Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan perlawanan dengan Belanda.
Dan di sore hari yang gak bisa aku lupakan itu, Mahesa datang dengan wajah letih.
Lalu ia duduk di atas peti tempat menyimpan gandum.
"Besok aku akan berangkat bertempur dinda..", Mahesa memulai pembicaraan sambil menyeka keringat yang ada di wajahnya.
"Bertempur dimana mas?", tanyaku sambil membereskan barang dagangan.
"Aku akan ke markas Belanda yang ada di selatan kota. Pasukan kita sudah terdesak disana. Tidak ada jalan lain selain menghancurkan markas Belanda tersebut."
Aku berhenti membereskan dagangan dan berjalan menuju ke tempat Mahesa duduk.
"Hati-hati ya mas. sepertinya keadaannya sangat gawat sekali." kataku sambil membantu membersihkan keringat yang ada di wajah Mahesa.
"Aku akan baik-baik saja Dinda. Aku sudah terlatih untuk menghadapi keadaan yang gawat. Demi negara ini, aku rela melakukan apa saja!"

Semenjak berkenalan dengan Mahesa, baru kali ini aku akan ditinggal bertempur.
Aku berdoa semoga dia dan pasukannya akan baik-baik saja, dan membawa kabar baik buat negara ini.

*

Pagi itu sebelum berangkat, Mahesa datang ke tokoku.
Ia tampak gagah sekali dengan seragam tentaranya.

"Dinda, aku berangkat ya. Doakan kami supaya bisa mengalahkan Belanda dan kembali dengan selamat". kata Mahesa memegang bahuku dengan kedua tangannya.
Dengan sedikit menahan tangis aku berkata, "Iya mas, semoga semua baik-baik saja. hati-hati ya mas. Aku akan selalu menunggu kepulanganmu dengan membawa kabar baik."
"Aku pasti akan pulang Dinda, aku akan kalahkan Belanda itu. Aku akan melakukan apa saja demi negeri ini!"

Lalu ia memelukku..
Air mata itu pun tak bisa lagi aku tahan.

"Oh ya Dinda, aku ingin memberimu ini.", Mahesa mengeluarkan selembar foto dari kantong bajunya dan memberikannya kepadaku.
Foto dirinya berpakaian seragam tentara lengkap, dengan bendera merah putih terikat di lengan yang sudah menjadi ciri khasnya.
"Aku akan menunggumu mas. hati-hati.."


*


Sudah satu minggu semenjak kepergian Mahesa bertempur.
Dan sudah satu minggu tidak ada kabar tentang ia dan pasukannya.
Aku pun sudah mencoba mendatangi markas tentara perjuangan yang ada di sebelah tokoku, namun tak ada satupun kabar berita yang bisa aku dapatkan.

Hingga pada suatu sore aku melihat lima orang tentara perjuangan datang.
Pakaian mereka tampak sangat lusuh dan kotor.
Ada dua orang dari mereka yang terpaksa dipapah karena kakinya terluka.

Bukankah itu tentara yang berangkat bersama-sama Mahesa? Mereka sudah kembali, tapi kenapa hanya berlima? Kemana Mahesa?

Aku lalu bergegas lari menuju rombongan tentara tersebut. Toko pun aku tinggalkan begitu saja.

Dengan nafas yang masih terengah-engah aku bertanya kepada mereka, "Dimana Mahesa??!!"
Mereka diam, dan saling melihat satu sama lain.
Lalu salah seorang dari mereka berkata, "Dinda. Kami berhasil mengalahkan Belanda dan menguasai markas mereka. Dan kalau tanpa pengorbanan Mahesa, mustahil kami bisa ada disini dan mengabarkan berita baik ini."

"Maksudnya??!!", aku bertanya dengan perasaan yang tidak karuan.

"Begini ceritanya. Saat itu kami berhasil mendesak mundur pasukan Belanda ke dalam markasnya. Tetapi tiba-tiba pasukan Belanda membalas dengan rentetan tembakan. Dan celakanya, persediaan amunisi kami sudah hampir habis dan tidak mungkin lagi untuk membalas tembakan pasukan Belanda tersebut. Lalu Mahesa menghampiriku dan berkata bahwa ia masih mempunyai dua buah granat dan itu cukup untuk menghancurkan markas Belanda tersebut. Tapi karena posisi kami yang agak jauh, sehingga kalaupun granat itu kami lempar, tidak akan bisa sampai ke dalam markas Belanda. Kemudian Mahesa berkata bahwa ia akan lari masuk ke dalam markas lalu meledakkan granat itu di depan pasukan Belanda. Kami kaget dan sempat melarangnya, tetapi ia tetap bersikukuh bahwa hal itu harus ia lakukan. Karena tinggal selangkah lagi untuk mengalahkan dan menguasai markas Belanda. Ia sempat berkata kepadaku, bahwa ia akan melakukan apa saja demi negara ini. Kemudian Mahesa menyelinap masuk ke dalam markas dan kami sempat mendengar rentetan tembakan dari dalam dan tak lama kemudian markas tentara Belanda itu meledak dan hancur berkeping-keping. Semua tentara Belanda mati akibat ledakan tersebut. Lalu kami masuk dan menemukan tubuh Mahesa yang hancur. Kami tidak tahu harus senang atau sedih dengan kejadiani ini. Maafkan kami Dinda, kami tidak bisa mencegahnya."




..............



Perlahan-lahan perempuan tua itu berdiri dari kursi rotan pemberian tetangganya.
Ia melangkah pelan menuju ke dalam kamar tidur.
Sepasang kaki jenjang yang dulu kuat berjalan puluhan kilometer terlihat masih cukup kuat menopang badan kurusnya.
Tak lama kemudian perempuan tua itu keluar dengan membawa sebuah kotak kecil.
Kotak yang sudah ia simpan berpuluh-puluh tahun lamanya.

Dibukanya kotak berwarna kecoklatan yang sudah agak lapuk itu, lalu ia mengeluarkan isinya.
Selembar bendera merah putih yang tampak lusuh dan berwarna kecoklatan.
Bendera itulah yang dipakai di lengan kanan laki-laki yang ada di dalam foto tadi.

Diciumnya bendera lusuh itu.
Lalu ia kembali menangis.

Sampai saat ini perempuan tua itu hidup seorang diri.
Ia tidak mempunyai suami, apalagi mempunyai anak.
Menurutnya, ia hidup dengan cinta sejati.
Dan ia bangga dengan cinta sejatinya itu.




**

Title : Oentoek Negeri dan Adindakoe
Release Free : 17 Agustus 2009

Tidak ada komentar: