18 Agustus 2010

Dewi

Dewi melirik jam tangan kualitas dua yang melingkar di tangan putihnya.
"eh.. masih jam 12.30 nih, kuliah ekonomi makro masih setengah jam lagi. ngadem di kantin dulu yuk!", ajak Dewi kepada dua temannya, Ratih dan Diah.
"Yuk, gue juga haus bgt nih.", sahut Ratih sambil memegang tenggorokannya.

Lalu mereka bertiga berjalan menuju ke kantin yang letaknya agak di belakang kampus.
Matahari sibuk mengusir gumpalan awan yang menghalangi sinar ultravioletnya.

"Wah gila, panas bgt cuy. siapa yang keluar dari neraka pintunya gak ditutup ya?." celoteh Diah sambil membetulkan posisi duduknya.
"eh eh, coba lihat kesana deh.", tangan Dewi menunjuk ke arah sekelompok cowok yang sedang berjalan menuju ke kantin.
"aihh,, Rico and the geng!", sahut Ratih sambil membelalakkan mata sipitnya ke arah sekelompok cowok tadi.

Rico adalah mahasiswa yang paling populer di kampus.
Populer karena ketampanannya, ketajirannya, dan juga predikatnya sebagai ...playboy.
Ayahnya seorang pengusaha batubara di Kalimantan.

"Eh duduk situ aja yuk. adem", kata salah satu teman Rico.
"Oke." sahut Rico pelan sambil mengendalikan kedua jempolnya mengutak-atik Blackberry model terbaru.

"Trus trus, gimana Ric, denger-denger lu udah putus sama Rachel. Trus sekarang katanya lu punya inceran baru lagi, siapa?" tanya salah satu teman Rico sambil membuka tutup teh botol.
"Iye, siapa sob. cewek cakep di kampus ini banyak bgt. susah kita nebaknya.", desak teman Rico yg lain.

Dewi dan kedua temannya terdiam.
Mereka gak nyangka kalau Rico dan teman-temannya akan duduk di belakang mereka.
Tapi tidak dengan Dewi, karena salah mengambil posisi duduk, ia tidak bisa melihat Rico yang duduk berjarak semeter dari punggungnya.

Dewi memang sudah lama sekali naksir dengan Rico.
Tapi ia tidak pernah mau mengutarakan atau paling tidak memberi tanda-tanda ke Rico kalau ia menyukainya.
Dan dari pembicaraan yang sempat terdengar oleh Dewi, Rico sudah putus dengan Rachel.
Dan Rico sudah punya inceran baru, wah..wah... siapa ya.

"Iya, dia satu angkatan dibawah kita, anak ekonomi. Anaknya manis bgt, pintar, baik. Wah kayaknya banyak juga deh yang suka ma dia bro, makanya aku rada-rada menjaga jarak dulu", suara Rico terdengar riang dan antusias menceritakan cewek incaran barunya.
"Ah..gue tau, tinggalnya di jalan kebagusan kan?", tanya teman Rico.

Glek!
Dewi kaget bukan main.
Selain dia, gak ada lagi anak ekonomi yang tinggal di jalan kebagusan.
Jantungnya berdegup kencang, sepasang kaki jenjangnya bergetar.
Apa mungkin cewek yang dimaksud Rico adalah dirinya?

"Namanya siapa sih?", tanya teman rico yang lain.
"Dewi", jawab Rico

Ingin rasanya Dewi berteriak-teriak, mencari pohon terdekat lalu menari kegirangan ala india

Oh my God, seperti dapat durian runtuh.
Rico naksir dengan dirinya.
Sebuah hal yang selama ini hanya bisa ia pendam dan ia impikan.

"Rencananya besok malam gue mau ke rumahnya, ya ngobrol-ngobrol lah.", lanjut Rico.
"Wuih mantap soob!, moga sukses ye. playboy kayak elu mah kaga bakal gagal, yakin gue. hehehehhe", sahut teman Rico.
"hahahaha, playboy juga manusia bro. pokoknye doain aja. Kalo yg ini gue serius bro.", terang Rico sambil menghabiskan teh botol yang ada di hadapannya.

Tak lama Rico dan teman-temannya pergi meninggalkan kantin.
Diah dan Ratih tampak tersenyum-senyum melihat ekspresi kegirangan di wajah cantik Dewi.
"Anjrriitt! beneran tuh tadi ya. kaga salah denger gue??!", kata Ratih sambil mengorek-ngorek kupingnya.
"hihihihii, lu denger sendiri kan Rat. Rico naksir gue. Siapa lagi coba anak ekonomi yang tinggal di jalan kebagusan selain gue?", sahut Dewi sambil membetulkan poni rambutnya yang tertiup angin.
"ya sih, wah beruntung banget lu Wi. Tadi katanya besok malem dia mau datang ke rumah elu tuh ya?", tanya Diah.
"iya, wah. gue harus siap-siap nih. besok gue bakal jadi cewek paling beruntung di dunia. ya ampun. pasti nervous banget gue!!".


*

Keesokan harinya.
Pukul setengah tujuh malam.
Dewi duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Rico.
Matanya naik turun membaca timeline twitter yang disajikan layar Blackberry pink kesayangannya.
Malam itu Dewi membuat tweet yg selama ini hanya ia baca dari timeline romantis yang ia ikuti : @dewideway "Menunggu pangeranku datang..". 1 sec ago from UberTwitter

"Woi woi,, cumi. banguun. ngapain lu tidur disini", sayup-sayup terdengar suara Lia, adik Dewi.
Pelan-pelan kelopak mata bulat Dewi terbuka.
Ternyata ia tadi tertidur.
Betapa kagetnya Dewi ketika melihat jarum jam yang ada di tangannya.
"Anjriit!! jam sepuluh. aduh Rico! Rico!". Dewi mulai panik kebingungan, ternyata Rico tidak datang.

Tiba-tiba Dewi merasa pusing.
Ia baru ingat kalau ia belum makan malam.
Kemudian ia memanggil adik kesayangannya untuk menemani mencari makan malam.


Saat melewati salah satu rumah yang tak jauh dari rumahnya, Dewi melihat seorang gadis cantik sedang berbincang mesra dengan cowok di teras rumah.
"Anjrriiitt!!!"
Dewi kaget bukan main.
Ternyata cowok itu adalah Rico!

Lalu masih dengan perasaan kaget, Dewi bertanya kepada adiknya.
"Dek, itu rumah siapa ya?", tanya Dewi sambil menunjuk ke rumah tadi.
"Oh itu, rumah Pak Satrio, yang pensiunan Pertamina itu"
"Trus itu tadi ada cewek yang lagi ngobrol sama cowok, itu siapa dek?"
"Itu anaknya bungsunya."
"Namanya??"
"Namanya Dewi juga, sama ma elu" jawab adik Dewi santai
"Anjrriittt!”.

**

16 Agustus 2010

Telur busuk yang menetas

Sedan mercedez-benz warna hitam metalik berhenti persis di depan pintu masuk gedung bundar. Dari pintu belakang mobil berplat nomer B 77 OKE itu keluar seorang pria berjas coklat berumur sekitar 50 tahunan. Sepasang kakinya yg dibalut sepatu kulit merek ternama bergantian untuk membawa badan gemuk pria itu sampai ke dalam gedung.

Tiba-tiba....
Plokk!

Sebutir telur busuk pecah setelah mengenai kepala bagian belakang pria tersebut. Hari ini bukanlah hari ulang tahunnya, tetapi mungkin hari ini akan menjadi awal dari hari-hari yang tidak akan mau dia ulang.

“Makan telur busuk itu Priyo, sama busuknya dgn kelakukanmu memakan uang kami!”. Suara teriakan dan lemparan telur tadi seolah memberi komando barisan pengamanan untuk bergerak memburuku ke segala penjuru.

“Lari Di..Lari!!”, dengan suara yang sudah hampir tidak terdengar lagi, Hambran menyuruhku untuk lari.
Sial, belum genap lima jari dari hitungan langkah seribu yg kuambil, jaket almamater berwarna kuning yang aku pakai di tarik oleh salah satu petugas.
Bruk! Pantatku yg dilapis celana jeans belel mendarat tepat di aspal yg siang itu kompak dengan matahari, panas!.
Dan petugas pengamanan yg tadi sempat menarik jaketku pun seolah ikut kompak terjatuh denganku, siang yg sial baginya.

Aku lalu berdiri dan mengambil sisa hitungan langkah seribuku menuju ke sebuah gang sempit di seberang gedung.

“huff... nyaris saja”, kataku pelan sambil berusaha sedikit demi sedikit mengambil oksigen bercampur asap yang disediakan oleh Jakarta.
“hah..hah... gila lu Di.”, sahut Hambran yang duduk tersandar di dekat parit.
“Gila mana sama koruptor tadi Bran, 100 milyar duit negara dimakan sama dia, tokai lah!”, kataku kesal.
“Gue balik Di, capek bgt.”, pamit Hambran sambil membersihkan kotoran sisa banjir semalam yg menempel di dekat parit tempat ia terduduk tadi.
“Oke, thanks ya Bran, Kalo ga ada lu bisa habis gue sama petugas tadi”, kataku sambil menepuk bahu Hambran

**

“Assalamualaikum..”

“Wa’alaikumsalam, loh kamu jam segini kok sudah pulang Di. Kamu demo lagi ya?”, tanya Ibu yang menyambutku di ruang tamu.
“Iya Bu”, jawabku pelan sambil meletakkan badanku di sofa yang baru sebulan ini dibeli Bapak

“Jaketmu kenapa kok sobek, pasti ribut lagi sama petugas ya. Sudah Ibu kasi tau berulang-ulang, tapi kamu tetep ngeyel. Ngapain sih kamu ikut demo-demo begitu, urusan kayak gitu itu sudah ada yg mengurus. Kamu itu tugasnya belajar Di, kalo kamu ikut demo-demo gitu mau jadi apa. Bisa-bisa gantian kamu yg di demo nanti. Mana sini jaketmu, biar ibu jahit”, pinta ibu dengan sedikit kesal.

Lalu aku berikan jaket almamater yg lusuh dan sobek di bagian tangan akibat tarikan petugas tadi.

“Tapi Bu, orang-orang yg korupsi itu benar-benar bikin aku kesal Bu. Seenaknya saja mereka ambil uang rakyat untuk kepentingan mereka. Trus, kasusnya menguap begitu saja tanpa ada kejelasan. Bayangkan deh kalau uang Ibu dicuri trus pencurinya bebas berkeliaran begitu saja.”, jelasku

“Sudah, kamu mandi sana terus makan”, perintah Ibu.

“Ya Bu”, jawabku pelan sambil melangkah menuju kamar.

**

Malam harinya ...

“Bapak belum pulang Bu?”, tanyaku

“Belum, tadi siang Bapak ngasi kabar kalau ada pekerjaan yg harus dia selesaikan di kantor.”, jawab Ibu sambil menjahit jaket almamaterku yang robek tadi siang.


**

Keesokan harinya di kantin kampus

Bruk!.
Segulung koran terbitan pagi ini mendarat tepat di atas kemaluanku.

“Eh, apa ini Bran?”, tanyaku sambil membuka gulungan koran tersebut
“Lu baca aja deh”, jawab Hambran sambil mengambil posisi duduk di depanku dan menyalakan sebatang rokok ketengan yg barusan ia beli.

Sepasang mataku bergerak dari atas kebawah membaca halaman depan koran tersebut.
Tampak foto seorang pria yg kemarin aku lempar dgn telur busuk. Aku tersenyum melihat foto di halaman depan koran tersebut, Pria itu nampak lebih gagah dengan jas bermereknya yg tercampur dgn kuning telur.

Sampai di berita bagian bawah, senyumku tiba-tiba pudar.
Ada foto seorang pria yang menjadi tersangka korupsi.
Wajah pria yg ada di foto tersebut sangat mirip denganku.

“Sudah kau lihat berita yg dibawah itu Di?, tanya Hambran.

Aku terdiam, mataku terus tertuju ke foto di halaman depan koran tersebut.

“Sekarang, aku tanya sama kau Di. Siapa yang kamu bela, siapa yang lebih kamu cintai. Negara ini, atau ... orang ini”, tanya Hambran sambil menunjuk ke foto di koran tadi.

Aku tak menjawab.

Hambran lalu berdiri sambil membuang puntung rokok yang sudah ia hisap separuh, lalu kemudian menginjak puntung rokok tersebut.

“Maaf Di, kali ini aku tidak bisa membantumu. Sekarang kamu pikirkanlah, apa kamu mau membela orang ini, ayahmu sendiri”, lanjut Hambran sambil menunjuk foto itu lagi lalu kemudian pergi berlalu.

Hatiku berkecamuk.
Sepertinya telur busuk yang aku lempar kemarin akan kembali kepadaku.

**