20 Juni 2010

ANDROMEDA

Raut wajah Andra kecil yang cemas tiba-tiba berubah. Dibacanya lagi secarik kertas berlogo Tut Wuri Handayani yang dihiasi deretan kolom-kolom berisi angka.
“Alhamdulillah aku lulus Eyang!”. Kata Andra
“Ini baru cucu Eyang. Oh ya, Eyang punya hadiah untuk kamu.”. kata Eyang sambil memegang sebuah kotak.
Tangan kecil Andra meraih kotak berwarna biru itu.
Raut wajah gembira nampak ketika ia membuka kotak tersebut.
“Teropong Bintang! Terima kasih Eyang”. Kata Andra sambil memegang hadiah yang baru diterimanya
“Pergunakan sebaik-baiknya ya Nak, kelak teropong bintang ini akan membawa cucu Eyang yang pintar ini, Andromeda Sastrodilogo menjadi orang besar. “
Eyang lalu memeluk cucu satu-satunya itu. Tanpa disadari, butiran airmata keluar membasahi pipi keriputnya.

Malam baru tiba menjemput petang. Andra bergegas menuju ke rumah Sagita. Tetangga dan teman bermainnya selama ini.
“Gita, lihat apa yang aku bawa”. Kata Andra
“Waw. Teropong bintang!” kata Gita sambil memegang tabung besi berlensa itu.
“Ayo kita naik ke atas. Langit sangat cerah malam ini”. Sahut Andra sambil menarik tangan Gita dan menaiki tangga menuju ke balkon
Tak lama, dua bocah yang baru saja lulus sekolah dasar itu sudah asik memandangi langit dari ujung lensa teropong bintang kepunyaan Andra.
“Aku belum pernah melihat bintang sedekat ini Ndra”, kata Gita sambil mengintip dibalik lensa teropong
“Bagus ya Git.” Sahut Andra
“Iya, Coba kamu liat ke sana deh Ndra”. Kata Gita sambil menunjuk ke arah tenggara.
“ Oh, bintang yang paling terang itu? Namanya Sirius. Itu bintang favoritku Git. Tinggi dan terang. Seperti cita-citaku. Eyang sering mengatakan, gantunglah cita-citamu setinggi langit. Maka dari itu aku suka melihat bintang. Karena disitulah cita-citaku.” Jelas Andra

Tak terasa malam kian menghitam. Andra dan Sagita akhirnya berpisah. Mereka harus kembali memejamkan mata. Memimpikan kembali cita-cita mereka. Entah sampai kapan mereka harus bermimpi. Mereka masih terlalu muda. Tapi tak ada yang tak mungkin untuk sebuah cita-cita.

*
20 tahun kemudian................

*

Di sebuah ruangan planetarium.
Seorang pria dengan raut wajah penasaran sedang serius memelototi layar monitor ditengah gelap malam.
Pria itu bukanlah Andra kecil dengan teropong besi yang hampir setiap malam memelototi langit.
Pria itu adalah Andra dewasa yang sekarang menjadi salah satu peneliti Astrologi di Indonesia.
Sekarang ia tidak lagi harus memejamkan sebelah matanya untuk melihat bintang di langit. Dengan teropong digital satu-satunya di Indonesia, ia mencoba mencari tahu benda langit asing yang sudah beberapa minggu ini ia teliti.
Andra meraih telfon genggam yang ada disampingnya.
“Sagita, aku menemukannya!”. Kata Andra
“Menemukan apa Ndra?” diujung telefon Sagita bertanya keheranan
“Benda langit yang kemarin aku ceritakan. Ternyata itu adalah salah satu gugusan bintang baru Git.”. Jelas Andra
“Benarkah? Wah kamu hebat. Menemukan bintang baru itu.”
“Iya. Aku sudah mengirimkan foto dan data penelitianku ke badan antariksa di Amerika. Dan mereka meresponnya. Menyatakan kalau itu gugusan bintang baru”
“Wah, aku bangga dengan kamu Ndra. Lantas kamu namakan apa bintang yang kamu temukan itu?”.
“Sagita”.




*

Setahun berlalu.
Sagita. Teman bermain Andra sejak kecil, tengah sibuk merapikan rumah. Di hari ketiga statusnya sebagai seorang istri.
“Ma, Kamu kenal Andromeda Sastodilogo?”
Sapu ijuk yang sedari tadi berayun-ayun ditangan Sagita tiba-tiba berhenti.
Sagita diam sambil memandang Bima, suaminya.
“Dari mana Papa tau tentang Andromeda Sastrodilogo?”, tanya Sagita setengah kaget kepada suaminya
“Papa tadi baca profil tentang dia. Dari riwayat pendidikan, dia pernah satu sekolah dengan Mama. Dia juga pernah menemukan sebuah gugusan bintang yang ia beri nama Bintang Sagita. Katanya itu adalah nama teman baiknya.” Jelas Bima.
“Hah? .. ehh.. Mama sudah setahun ini tidak mendapat kabar tentang dia. Dia memang pernah cerita tentang penemuannya itu. Tapi setelah itu dia seolah menghilang. Terakhir mama dengar dia mengundurkan diri dari planetarium dan mendapat beasiswa ke Amerika”.
Bima suami Sagita lalu memberikan sebuah surat kabar harian kepada istrinya.
Sagita lalu membuka koran tersebut.
Disitu terpampang foto sesosok pria gagah berpakaian astronot
Perlahan Sagita membaca headline surat kabar itu.
“Andromeda Sastrodilogo. Penemu gugusan bintang Sagita. Akan menjadi orang Indonesia pertama yang pergi ke luar angkasa bersama NASA”.


**

07 Juni 2010

Hujan

Langit jakarta berwarna abu-abu
Butiran air turun tanpa bisa dicegah
Kilatan petir seolah memotret kelakuan kaum metropolis

Kuurungkan niat melawan air hujan yang mengeroyok
Laju motor kuhentikan di sebuah halte yang tak jauh dari kampusku
Untuk sejenak berteduh menunggu air hujan puas menumpahkan bumi
Ternyata aku tak sendiri di halte yang tidak terawat ini
Pedagang asongan yang sedang menahan kantuk.
Anak kecil penjual koran yang sibuk menghitung uang receh
Dan...
Seorang wanita yang nampak basah kuyup, sedang duduk sambil menyilangkan tangannya di dada.
Umurnya mungkin sebaya denganku
Rambutnya panjang, kulitnya putih.
Dan tahi lalat yang menempel indah dibawah bibir merah
Sepertinya ia sedang kedinginan

Aku berjalan ke pedagang asongan yang kaget karena terkena percikan air dari kendaraan yang lewat
Tetap dengan sopan ia menerima tiga lembar uang ribuan dan menukarkannya dengan dua botol minuman ringan.

“Minum dulu mbak”, kataku sambil menyodorkan sebotol minuman ringan kepada wanita yang duduk tadi.
Dengan sedikit kaget dan memandangku aneh, ia berkata “ehh.. gak mas. Terima kasih”
“Ambillah mbak,lumayan bisa sedikit menghangatkan badan. Gak aku kasi macem-macem kok, masih murni”. Mungkin ia mengira aku akan memberinya minuman yang sudah diberi obat penenang atau obat apalah yang bisa membuat ia tak sadarkan diri.
Wanita itu terdiam sejenak.
“Terima kasih”, sahutnya pelan sambil meraih botol minuman yang ada di tanganku.
Lalu aku duduk di sampingnya dan tanpa dikomando kami berdua mulai menikmati setiap tegukan minuman ringan tersebut.
“Mau kemana mbak?”, tanyaku
“Mau pulang kerumah”, jawabnya sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya untuk menghilangkan rasa dingin
“Ohh.. rumahnya di daerah mana?”
“Di bendungan hilir”
“Wah jauh sekali. Mbak darimana?”
“Dari pulang kuliah”
“Oh.. kampusnya dimana?”
“Disitu”, jawabnya sambil menunjuk ke arah selatan halte.
“Lah, saya juga kuliah disitu mbak. Wah berarti kita satu kampus dong. Oh ya, perkenalkan. Namaku Mahendra.” Kataku sambil mengulurkan tangan.
“Namaku Fera”. Sambil dengan pelan ia menyambut uluran tanganku.
“Salam kenal ya. Kamu asli Jakarta Ra?”, tanyaku
“Iya”
“Di Jakarta tinggal dengan siapa?”
“Tinggal dengan Ibu dan kakak”
Suara air hujan yang menghujam atap halte perlahan-lahan hilang.
“Sudah agak reda nih hujannya. Aku duluan yah. Makasih ya minumannya tadi” Kemudian wanita itu berdiri dan berjalan pelan ke arah motornya.
“Oh ok. Hati-hati ya. Sampai jumpa”. Kataku dengan sedikit kecewa.
Langit sudah kehabisan air untuk membasuh bumi, yang berarti harus berakhir juga perbincanganku dengan Fera. Arrgghh, baru kali ini aku benci dengan hujan yang berhenti.

*

Hari ini jadwal kuliahku padat sekali.
Dari pagi sampai sore.
Sebuah kewajiban yang berat tapi harus aku jalani.
Dan sore ini Jakarta yang biasanya panas, memaksa penghuninya untuk berlomba-lomba mencari tempat agar baju mahal mereka tidak basah kuyup.
Halte tak terawat kembali menjadi pilihanku untuk berteduh.
Tak lama sebuah sepeda motor berhenti di depanku
Pengendara sepeda motor itu turun dari motornya dan langsung duduk di sebelahku
“Fera??!”, Kataku setengah kaget ketika melihat pengendara sepeda motor itu membuka helmnya.
“Eh.. halo Ndra.” Sahut pengendara sepeda motor tadi yang ternyata adalah Fera, wanita yang aku kenal dua hari lalu ketika berteduh di halte ini.
“Kamu habis kuliah Ra?” tanyaku
“Yap. Hujan terus nih.” jawab Fera sambil mengelap rambutnya yang basah
“Iyah. Eh kamu kemana-mana sendirian? Ga dianter Ibu atau kakak kamu?”
“Yaelah, aku dah gede kali Ndra. Kalau bisa dikerjain sendiri ngapain butuh bantuin orang lain.”
“Ga bareng kakak kamu?”
“Kakakku kerja di perusahaan pembiayaan yang kantornya ga di daerah sini. Kalau ibuku menjahit di rumah”
“Oh.. begitu”
“Iya, Mama dan kakakku harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dan membiayai kuliahku. Kalau sedang libur aku membuat coklat dan aku titipkan di Kantin kampus” jelasnya sedikit curhat
“Trus Papa kamu kemana?” tanyaku lagi
Fera terdiam sejenak. Raut wajahnya sedikit berubah
“Papa menikah lagi dengan perempuan lain”, jawabnya lirih
“Oh.. maaf ya kalo kamu jadi teringat dengan kejadian yang lalu”
“Gak papa kok. Eh kamu mau minum? Aku yang traktir deh kali ini.”, tanyanya sambil memanggil pedagang asongan yang duduk tak jauh dari tempat kami.
“Boleh deh”, jawabku

Aku memandangi Fera yang sedang membeli minuman ringan.
Ia cantik
Dan rambut basahnya itu membuatnya semakin menarik

“Hei, kenapa kamu melihatku seperti itu?”, tanya Fera sambil memberikan sebotol minuman ringan
“Oh eh, gak papa kok. Kamu sudah punya pacar?”, jawabku sedikit gugup
“Hah?! Kenapa kamu tanya gitu?”. Tanya Fera sedikit kaget
“Ya gak papa, heran aja cewek secantik kamu kemana-mana sendirian. Kehujanan kepanasan”, jawabku enteng
“Yee, emang gak boleh apa. Aku tuh ga punya pacar. Jadi kemana-mana bebas.”, jawabnya sambil memukul pelan lenganku.
“Ohh.. kirain. Padahal cewek secantik kamu gampang lho dapet cowok. Mau yang mana aja tinggal pilih deh”
“Ah, gak juga. Percuma juga kalau punya cowok tapi hanya main-main. Buang-buang waktu. Nah trus kalau kamu gimana? Sepertinya kamu tipe-tipe yang banyak disukai wanita”
“Hmm.. ya sih. Lagi laris nih aku. Banyak banget yang ngejar-ngejar aku. Ada lima orang”, kataku sambil tersenyum kecil
“Hueek.. iya gitu lima orang?! Tapi bencong semua ya?” Kata Fera
“Enak aja!” kataku sambil memukul pelan lengannya yang basah.

Dan kali ini kerasnya suara air hujan yg menghujam atap halte terpaksa menyerah dengan kerasnya suara tawa kami berdua.
Tubuh kami pun seolah kebal dengan dingin yang menyengat
Ah.. jangan hentikan air hujan ini wahai langit
Aku masih ingin mendengar tawa renyah Fera.

*

Aku dan Fera selalu bertemu di halte ini
Namun sudah beberapa kali aku berteduh, aku tidak bertemu dengan Fera.
Kemana dia??
Aku sudah mencoba mencarinya di kampus tapi tidak menemui hasil

Hujan sudah reda.
Aku masih duduk di halte ini.
Mungkin hari ini aku beruntung bisa bertemu dengan Fera.
Aku kangen dengan senyum dan tawa renyahnya

Tak lama, Akbar teman sekampusku menghampiri sambil menepuk bahuku.
“Hei Bro! Ngapain lu bengong disini??”
“Oh, eh. Berteduh bro, hujan deres banget tadi.” Jawabku sedikit kaget.
“Oh, eh lu udah liat video mesum yang lagi heboh di kampus kita?”, tanya Akbar pelan
“Hah? Belum. Video mesum apa?”, tanyaku penasaran
“Salah satu mahasiswi kampus kita bro. Tapi aku ga tau siapa dia. Kurang terkenal kayaknya. Aku ada videonya nih. Bentar ya”. Jawab Akbar sambil mengeluarkan handphone buatan china yang modelnya mirip dengan salah satu smartphone yang lagi trend.
“Nih.. nih. coba lihat” , katanya sambil memperlihatkan video yang diputar di layar hp nya.
Lalu aku perhatikan video berdurasi dua menit itu dengan seksama.
Terlihat pria dan wanita sedang melakukan adegan yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri. Si wanita mendominasi di video itu, dan... eh.. wajah wanita itu. Tahi lalat itu?
“Anjritt! Ini kan Fera!!”