Dewi melirik jam tangan kualitas dua yang melingkar di tangan putihnya.
"eh.. masih jam 12.30 nih, kuliah ekonomi makro masih setengah jam lagi. ngadem di kantin dulu yuk!", ajak Dewi kepada dua temannya, Ratih dan Diah.
"Yuk, gue juga haus bgt nih.", sahut Ratih sambil memegang tenggorokannya.
Lalu mereka bertiga berjalan menuju ke kantin yang letaknya agak di belakang kampus.
Matahari sibuk mengusir gumpalan awan yang menghalangi sinar ultravioletnya.
"Wah gila, panas bgt cuy. siapa yang keluar dari neraka pintunya gak ditutup ya?." celoteh Diah sambil membetulkan posisi duduknya.
"eh eh, coba lihat kesana deh.", tangan Dewi menunjuk ke arah sekelompok cowok yang sedang berjalan menuju ke kantin.
"aihh,, Rico and the geng!", sahut Ratih sambil membelalakkan mata sipitnya ke arah sekelompok cowok tadi.
Rico adalah mahasiswa yang paling populer di kampus.
Populer karena ketampanannya, ketajirannya, dan juga predikatnya sebagai ...playboy.
Ayahnya seorang pengusaha batubara di Kalimantan.
"Eh duduk situ aja yuk. adem", kata salah satu teman Rico.
"Oke." sahut Rico pelan sambil mengendalikan kedua jempolnya mengutak-atik Blackberry model terbaru.
"Trus trus, gimana Ric, denger-denger lu udah putus sama Rachel. Trus sekarang katanya lu punya inceran baru lagi, siapa?" tanya salah satu teman Rico sambil membuka tutup teh botol.
"Iye, siapa sob. cewek cakep di kampus ini banyak bgt. susah kita nebaknya.", desak teman Rico yg lain.
Dewi dan kedua temannya terdiam.
Mereka gak nyangka kalau Rico dan teman-temannya akan duduk di belakang mereka.
Tapi tidak dengan Dewi, karena salah mengambil posisi duduk, ia tidak bisa melihat Rico yang duduk berjarak semeter dari punggungnya.
Dewi memang sudah lama sekali naksir dengan Rico.
Tapi ia tidak pernah mau mengutarakan atau paling tidak memberi tanda-tanda ke Rico kalau ia menyukainya.
Dan dari pembicaraan yang sempat terdengar oleh Dewi, Rico sudah putus dengan Rachel.
Dan Rico sudah punya inceran baru, wah..wah... siapa ya.
"Iya, dia satu angkatan dibawah kita, anak ekonomi. Anaknya manis bgt, pintar, baik. Wah kayaknya banyak juga deh yang suka ma dia bro, makanya aku rada-rada menjaga jarak dulu", suara Rico terdengar riang dan antusias menceritakan cewek incaran barunya.
"Ah..gue tau, tinggalnya di jalan kebagusan kan?", tanya teman Rico.
Glek!
Dewi kaget bukan main.
Selain dia, gak ada lagi anak ekonomi yang tinggal di jalan kebagusan.
Jantungnya berdegup kencang, sepasang kaki jenjangnya bergetar.
Apa mungkin cewek yang dimaksud Rico adalah dirinya?
"Namanya siapa sih?", tanya teman rico yang lain.
"Dewi", jawab Rico
Ingin rasanya Dewi berteriak-teriak, mencari pohon terdekat lalu menari kegirangan ala india
Oh my God, seperti dapat durian runtuh.
Rico naksir dengan dirinya.
Sebuah hal yang selama ini hanya bisa ia pendam dan ia impikan.
"Rencananya besok malam gue mau ke rumahnya, ya ngobrol-ngobrol lah.", lanjut Rico.
"Wuih mantap soob!, moga sukses ye. playboy kayak elu mah kaga bakal gagal, yakin gue. hehehehhe", sahut teman Rico.
"hahahaha, playboy juga manusia bro. pokoknye doain aja. Kalo yg ini gue serius bro.", terang Rico sambil menghabiskan teh botol yang ada di hadapannya.
Tak lama Rico dan teman-temannya pergi meninggalkan kantin.
Diah dan Ratih tampak tersenyum-senyum melihat ekspresi kegirangan di wajah cantik Dewi.
"Anjrriitt! beneran tuh tadi ya. kaga salah denger gue??!", kata Ratih sambil mengorek-ngorek kupingnya.
"hihihihii, lu denger sendiri kan Rat. Rico naksir gue. Siapa lagi coba anak ekonomi yang tinggal di jalan kebagusan selain gue?", sahut Dewi sambil membetulkan poni rambutnya yang tertiup angin.
"ya sih, wah beruntung banget lu Wi. Tadi katanya besok malem dia mau datang ke rumah elu tuh ya?", tanya Diah.
"iya, wah. gue harus siap-siap nih. besok gue bakal jadi cewek paling beruntung di dunia. ya ampun. pasti nervous banget gue!!".
*
Keesokan harinya.
Pukul setengah tujuh malam.
Dewi duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Rico.
Matanya naik turun membaca timeline twitter yang disajikan layar Blackberry pink kesayangannya.
Malam itu Dewi membuat tweet yg selama ini hanya ia baca dari timeline romantis yang ia ikuti : @dewideway "Menunggu pangeranku datang..". 1 sec ago from UberTwitter
"Woi woi,, cumi. banguun. ngapain lu tidur disini", sayup-sayup terdengar suara Lia, adik Dewi.
Pelan-pelan kelopak mata bulat Dewi terbuka.
Ternyata ia tadi tertidur.
Betapa kagetnya Dewi ketika melihat jarum jam yang ada di tangannya.
"Anjriit!! jam sepuluh. aduh Rico! Rico!". Dewi mulai panik kebingungan, ternyata Rico tidak datang.
Tiba-tiba Dewi merasa pusing.
Ia baru ingat kalau ia belum makan malam.
Kemudian ia memanggil adik kesayangannya untuk menemani mencari makan malam.
Saat melewati salah satu rumah yang tak jauh dari rumahnya, Dewi melihat seorang gadis cantik sedang berbincang mesra dengan cowok di teras rumah.
"Anjrriiitt!!!"
Dewi kaget bukan main.
Ternyata cowok itu adalah Rico!
Lalu masih dengan perasaan kaget, Dewi bertanya kepada adiknya.
"Dek, itu rumah siapa ya?", tanya Dewi sambil menunjuk ke rumah tadi.
"Oh itu, rumah Pak Satrio, yang pensiunan Pertamina itu"
"Trus itu tadi ada cewek yang lagi ngobrol sama cowok, itu siapa dek?"
"Itu anaknya bungsunya."
"Namanya??"
"Namanya Dewi juga, sama ma elu" jawab adik Dewi santai
"Anjrriittt!”.
**
18 Agustus 2010
16 Agustus 2010
Telur busuk yang menetas
Sedan mercedez-benz warna hitam metalik berhenti persis di depan pintu masuk gedung bundar. Dari pintu belakang mobil berplat nomer B 77 OKE itu keluar seorang pria berjas coklat berumur sekitar 50 tahunan. Sepasang kakinya yg dibalut sepatu kulit merek ternama bergantian untuk membawa badan gemuk pria itu sampai ke dalam gedung.
Tiba-tiba....
Plokk!
Sebutir telur busuk pecah setelah mengenai kepala bagian belakang pria tersebut. Hari ini bukanlah hari ulang tahunnya, tetapi mungkin hari ini akan menjadi awal dari hari-hari yang tidak akan mau dia ulang.
“Makan telur busuk itu Priyo, sama busuknya dgn kelakukanmu memakan uang kami!”. Suara teriakan dan lemparan telur tadi seolah memberi komando barisan pengamanan untuk bergerak memburuku ke segala penjuru.
“Lari Di..Lari!!”, dengan suara yang sudah hampir tidak terdengar lagi, Hambran menyuruhku untuk lari.
Sial, belum genap lima jari dari hitungan langkah seribu yg kuambil, jaket almamater berwarna kuning yang aku pakai di tarik oleh salah satu petugas.
Bruk! Pantatku yg dilapis celana jeans belel mendarat tepat di aspal yg siang itu kompak dengan matahari, panas!.
Dan petugas pengamanan yg tadi sempat menarik jaketku pun seolah ikut kompak terjatuh denganku, siang yg sial baginya.
Aku lalu berdiri dan mengambil sisa hitungan langkah seribuku menuju ke sebuah gang sempit di seberang gedung.
“huff... nyaris saja”, kataku pelan sambil berusaha sedikit demi sedikit mengambil oksigen bercampur asap yang disediakan oleh Jakarta.
“hah..hah... gila lu Di.”, sahut Hambran yang duduk tersandar di dekat parit.
“Gila mana sama koruptor tadi Bran, 100 milyar duit negara dimakan sama dia, tokai lah!”, kataku kesal.
“Gue balik Di, capek bgt.”, pamit Hambran sambil membersihkan kotoran sisa banjir semalam yg menempel di dekat parit tempat ia terduduk tadi.
“Oke, thanks ya Bran, Kalo ga ada lu bisa habis gue sama petugas tadi”, kataku sambil menepuk bahu Hambran
**
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikumsalam, loh kamu jam segini kok sudah pulang Di. Kamu demo lagi ya?”, tanya Ibu yang menyambutku di ruang tamu.
“Iya Bu”, jawabku pelan sambil meletakkan badanku di sofa yang baru sebulan ini dibeli Bapak
“Jaketmu kenapa kok sobek, pasti ribut lagi sama petugas ya. Sudah Ibu kasi tau berulang-ulang, tapi kamu tetep ngeyel. Ngapain sih kamu ikut demo-demo begitu, urusan kayak gitu itu sudah ada yg mengurus. Kamu itu tugasnya belajar Di, kalo kamu ikut demo-demo gitu mau jadi apa. Bisa-bisa gantian kamu yg di demo nanti. Mana sini jaketmu, biar ibu jahit”, pinta ibu dengan sedikit kesal.
Lalu aku berikan jaket almamater yg lusuh dan sobek di bagian tangan akibat tarikan petugas tadi.
“Tapi Bu, orang-orang yg korupsi itu benar-benar bikin aku kesal Bu. Seenaknya saja mereka ambil uang rakyat untuk kepentingan mereka. Trus, kasusnya menguap begitu saja tanpa ada kejelasan. Bayangkan deh kalau uang Ibu dicuri trus pencurinya bebas berkeliaran begitu saja.”, jelasku
“Sudah, kamu mandi sana terus makan”, perintah Ibu.
“Ya Bu”, jawabku pelan sambil melangkah menuju kamar.
**
Malam harinya ...
“Bapak belum pulang Bu?”, tanyaku
“Belum, tadi siang Bapak ngasi kabar kalau ada pekerjaan yg harus dia selesaikan di kantor.”, jawab Ibu sambil menjahit jaket almamaterku yang robek tadi siang.
**
Keesokan harinya di kantin kampus
Bruk!.
Segulung koran terbitan pagi ini mendarat tepat di atas kemaluanku.
“Eh, apa ini Bran?”, tanyaku sambil membuka gulungan koran tersebut
“Lu baca aja deh”, jawab Hambran sambil mengambil posisi duduk di depanku dan menyalakan sebatang rokok ketengan yg barusan ia beli.
Sepasang mataku bergerak dari atas kebawah membaca halaman depan koran tersebut.
Tampak foto seorang pria yg kemarin aku lempar dgn telur busuk. Aku tersenyum melihat foto di halaman depan koran tersebut, Pria itu nampak lebih gagah dengan jas bermereknya yg tercampur dgn kuning telur.
Sampai di berita bagian bawah, senyumku tiba-tiba pudar.
Ada foto seorang pria yang menjadi tersangka korupsi.
Wajah pria yg ada di foto tersebut sangat mirip denganku.
“Sudah kau lihat berita yg dibawah itu Di?, tanya Hambran.
Aku terdiam, mataku terus tertuju ke foto di halaman depan koran tersebut.
“Sekarang, aku tanya sama kau Di. Siapa yang kamu bela, siapa yang lebih kamu cintai. Negara ini, atau ... orang ini”, tanya Hambran sambil menunjuk ke foto di koran tadi.
Aku tak menjawab.
Hambran lalu berdiri sambil membuang puntung rokok yang sudah ia hisap separuh, lalu kemudian menginjak puntung rokok tersebut.
“Maaf Di, kali ini aku tidak bisa membantumu. Sekarang kamu pikirkanlah, apa kamu mau membela orang ini, ayahmu sendiri”, lanjut Hambran sambil menunjuk foto itu lagi lalu kemudian pergi berlalu.
Hatiku berkecamuk.
Sepertinya telur busuk yang aku lempar kemarin akan kembali kepadaku.
**
Tiba-tiba....
Plokk!
Sebutir telur busuk pecah setelah mengenai kepala bagian belakang pria tersebut. Hari ini bukanlah hari ulang tahunnya, tetapi mungkin hari ini akan menjadi awal dari hari-hari yang tidak akan mau dia ulang.
“Makan telur busuk itu Priyo, sama busuknya dgn kelakukanmu memakan uang kami!”. Suara teriakan dan lemparan telur tadi seolah memberi komando barisan pengamanan untuk bergerak memburuku ke segala penjuru.
“Lari Di..Lari!!”, dengan suara yang sudah hampir tidak terdengar lagi, Hambran menyuruhku untuk lari.
Sial, belum genap lima jari dari hitungan langkah seribu yg kuambil, jaket almamater berwarna kuning yang aku pakai di tarik oleh salah satu petugas.
Bruk! Pantatku yg dilapis celana jeans belel mendarat tepat di aspal yg siang itu kompak dengan matahari, panas!.
Dan petugas pengamanan yg tadi sempat menarik jaketku pun seolah ikut kompak terjatuh denganku, siang yg sial baginya.
Aku lalu berdiri dan mengambil sisa hitungan langkah seribuku menuju ke sebuah gang sempit di seberang gedung.
“huff... nyaris saja”, kataku pelan sambil berusaha sedikit demi sedikit mengambil oksigen bercampur asap yang disediakan oleh Jakarta.
“hah..hah... gila lu Di.”, sahut Hambran yang duduk tersandar di dekat parit.
“Gila mana sama koruptor tadi Bran, 100 milyar duit negara dimakan sama dia, tokai lah!”, kataku kesal.
“Gue balik Di, capek bgt.”, pamit Hambran sambil membersihkan kotoran sisa banjir semalam yg menempel di dekat parit tempat ia terduduk tadi.
“Oke, thanks ya Bran, Kalo ga ada lu bisa habis gue sama petugas tadi”, kataku sambil menepuk bahu Hambran
**
“Assalamualaikum..”
“Wa’alaikumsalam, loh kamu jam segini kok sudah pulang Di. Kamu demo lagi ya?”, tanya Ibu yang menyambutku di ruang tamu.
“Iya Bu”, jawabku pelan sambil meletakkan badanku di sofa yang baru sebulan ini dibeli Bapak
“Jaketmu kenapa kok sobek, pasti ribut lagi sama petugas ya. Sudah Ibu kasi tau berulang-ulang, tapi kamu tetep ngeyel. Ngapain sih kamu ikut demo-demo begitu, urusan kayak gitu itu sudah ada yg mengurus. Kamu itu tugasnya belajar Di, kalo kamu ikut demo-demo gitu mau jadi apa. Bisa-bisa gantian kamu yg di demo nanti. Mana sini jaketmu, biar ibu jahit”, pinta ibu dengan sedikit kesal.
Lalu aku berikan jaket almamater yg lusuh dan sobek di bagian tangan akibat tarikan petugas tadi.
“Tapi Bu, orang-orang yg korupsi itu benar-benar bikin aku kesal Bu. Seenaknya saja mereka ambil uang rakyat untuk kepentingan mereka. Trus, kasusnya menguap begitu saja tanpa ada kejelasan. Bayangkan deh kalau uang Ibu dicuri trus pencurinya bebas berkeliaran begitu saja.”, jelasku
“Sudah, kamu mandi sana terus makan”, perintah Ibu.
“Ya Bu”, jawabku pelan sambil melangkah menuju kamar.
**
Malam harinya ...
“Bapak belum pulang Bu?”, tanyaku
“Belum, tadi siang Bapak ngasi kabar kalau ada pekerjaan yg harus dia selesaikan di kantor.”, jawab Ibu sambil menjahit jaket almamaterku yang robek tadi siang.
**
Keesokan harinya di kantin kampus
Bruk!.
Segulung koran terbitan pagi ini mendarat tepat di atas kemaluanku.
“Eh, apa ini Bran?”, tanyaku sambil membuka gulungan koran tersebut
“Lu baca aja deh”, jawab Hambran sambil mengambil posisi duduk di depanku dan menyalakan sebatang rokok ketengan yg barusan ia beli.
Sepasang mataku bergerak dari atas kebawah membaca halaman depan koran tersebut.
Tampak foto seorang pria yg kemarin aku lempar dgn telur busuk. Aku tersenyum melihat foto di halaman depan koran tersebut, Pria itu nampak lebih gagah dengan jas bermereknya yg tercampur dgn kuning telur.
Sampai di berita bagian bawah, senyumku tiba-tiba pudar.
Ada foto seorang pria yang menjadi tersangka korupsi.
Wajah pria yg ada di foto tersebut sangat mirip denganku.
“Sudah kau lihat berita yg dibawah itu Di?, tanya Hambran.
Aku terdiam, mataku terus tertuju ke foto di halaman depan koran tersebut.
“Sekarang, aku tanya sama kau Di. Siapa yang kamu bela, siapa yang lebih kamu cintai. Negara ini, atau ... orang ini”, tanya Hambran sambil menunjuk ke foto di koran tadi.
Aku tak menjawab.
Hambran lalu berdiri sambil membuang puntung rokok yang sudah ia hisap separuh, lalu kemudian menginjak puntung rokok tersebut.
“Maaf Di, kali ini aku tidak bisa membantumu. Sekarang kamu pikirkanlah, apa kamu mau membela orang ini, ayahmu sendiri”, lanjut Hambran sambil menunjuk foto itu lagi lalu kemudian pergi berlalu.
Hatiku berkecamuk.
Sepertinya telur busuk yang aku lempar kemarin akan kembali kepadaku.
**
20 Juni 2010
ANDROMEDA
Raut wajah Andra kecil yang cemas tiba-tiba berubah. Dibacanya lagi secarik kertas berlogo Tut Wuri Handayani yang dihiasi deretan kolom-kolom berisi angka.
“Alhamdulillah aku lulus Eyang!”. Kata Andra
“Ini baru cucu Eyang. Oh ya, Eyang punya hadiah untuk kamu.”. kata Eyang sambil memegang sebuah kotak.
Tangan kecil Andra meraih kotak berwarna biru itu.
Raut wajah gembira nampak ketika ia membuka kotak tersebut.
“Teropong Bintang! Terima kasih Eyang”. Kata Andra sambil memegang hadiah yang baru diterimanya
“Pergunakan sebaik-baiknya ya Nak, kelak teropong bintang ini akan membawa cucu Eyang yang pintar ini, Andromeda Sastrodilogo menjadi orang besar. “
Eyang lalu memeluk cucu satu-satunya itu. Tanpa disadari, butiran airmata keluar membasahi pipi keriputnya.
Malam baru tiba menjemput petang. Andra bergegas menuju ke rumah Sagita. Tetangga dan teman bermainnya selama ini.
“Gita, lihat apa yang aku bawa”. Kata Andra
“Waw. Teropong bintang!” kata Gita sambil memegang tabung besi berlensa itu.
“Ayo kita naik ke atas. Langit sangat cerah malam ini”. Sahut Andra sambil menarik tangan Gita dan menaiki tangga menuju ke balkon
Tak lama, dua bocah yang baru saja lulus sekolah dasar itu sudah asik memandangi langit dari ujung lensa teropong bintang kepunyaan Andra.
“Aku belum pernah melihat bintang sedekat ini Ndra”, kata Gita sambil mengintip dibalik lensa teropong
“Bagus ya Git.” Sahut Andra
“Iya, Coba kamu liat ke sana deh Ndra”. Kata Gita sambil menunjuk ke arah tenggara.
“ Oh, bintang yang paling terang itu? Namanya Sirius. Itu bintang favoritku Git. Tinggi dan terang. Seperti cita-citaku. Eyang sering mengatakan, gantunglah cita-citamu setinggi langit. Maka dari itu aku suka melihat bintang. Karena disitulah cita-citaku.” Jelas Andra
Tak terasa malam kian menghitam. Andra dan Sagita akhirnya berpisah. Mereka harus kembali memejamkan mata. Memimpikan kembali cita-cita mereka. Entah sampai kapan mereka harus bermimpi. Mereka masih terlalu muda. Tapi tak ada yang tak mungkin untuk sebuah cita-cita.
*
20 tahun kemudian................
*
Di sebuah ruangan planetarium.
Seorang pria dengan raut wajah penasaran sedang serius memelototi layar monitor ditengah gelap malam.
Pria itu bukanlah Andra kecil dengan teropong besi yang hampir setiap malam memelototi langit.
Pria itu adalah Andra dewasa yang sekarang menjadi salah satu peneliti Astrologi di Indonesia.
Sekarang ia tidak lagi harus memejamkan sebelah matanya untuk melihat bintang di langit. Dengan teropong digital satu-satunya di Indonesia, ia mencoba mencari tahu benda langit asing yang sudah beberapa minggu ini ia teliti.
Andra meraih telfon genggam yang ada disampingnya.
“Sagita, aku menemukannya!”. Kata Andra
“Menemukan apa Ndra?” diujung telefon Sagita bertanya keheranan
“Benda langit yang kemarin aku ceritakan. Ternyata itu adalah salah satu gugusan bintang baru Git.”. Jelas Andra
“Benarkah? Wah kamu hebat. Menemukan bintang baru itu.”
“Iya. Aku sudah mengirimkan foto dan data penelitianku ke badan antariksa di Amerika. Dan mereka meresponnya. Menyatakan kalau itu gugusan bintang baru”
“Wah, aku bangga dengan kamu Ndra. Lantas kamu namakan apa bintang yang kamu temukan itu?”.
“Sagita”.
*
Setahun berlalu.
Sagita. Teman bermain Andra sejak kecil, tengah sibuk merapikan rumah. Di hari ketiga statusnya sebagai seorang istri.
“Ma, Kamu kenal Andromeda Sastodilogo?”
Sapu ijuk yang sedari tadi berayun-ayun ditangan Sagita tiba-tiba berhenti.
Sagita diam sambil memandang Bima, suaminya.
“Dari mana Papa tau tentang Andromeda Sastrodilogo?”, tanya Sagita setengah kaget kepada suaminya
“Papa tadi baca profil tentang dia. Dari riwayat pendidikan, dia pernah satu sekolah dengan Mama. Dia juga pernah menemukan sebuah gugusan bintang yang ia beri nama Bintang Sagita. Katanya itu adalah nama teman baiknya.” Jelas Bima.
“Hah? .. ehh.. Mama sudah setahun ini tidak mendapat kabar tentang dia. Dia memang pernah cerita tentang penemuannya itu. Tapi setelah itu dia seolah menghilang. Terakhir mama dengar dia mengundurkan diri dari planetarium dan mendapat beasiswa ke Amerika”.
Bima suami Sagita lalu memberikan sebuah surat kabar harian kepada istrinya.
Sagita lalu membuka koran tersebut.
Disitu terpampang foto sesosok pria gagah berpakaian astronot
Perlahan Sagita membaca headline surat kabar itu.
“Andromeda Sastrodilogo. Penemu gugusan bintang Sagita. Akan menjadi orang Indonesia pertama yang pergi ke luar angkasa bersama NASA”.
**
“Alhamdulillah aku lulus Eyang!”. Kata Andra
“Ini baru cucu Eyang. Oh ya, Eyang punya hadiah untuk kamu.”. kata Eyang sambil memegang sebuah kotak.
Tangan kecil Andra meraih kotak berwarna biru itu.
Raut wajah gembira nampak ketika ia membuka kotak tersebut.
“Teropong Bintang! Terima kasih Eyang”. Kata Andra sambil memegang hadiah yang baru diterimanya
“Pergunakan sebaik-baiknya ya Nak, kelak teropong bintang ini akan membawa cucu Eyang yang pintar ini, Andromeda Sastrodilogo menjadi orang besar. “
Eyang lalu memeluk cucu satu-satunya itu. Tanpa disadari, butiran airmata keluar membasahi pipi keriputnya.
Malam baru tiba menjemput petang. Andra bergegas menuju ke rumah Sagita. Tetangga dan teman bermainnya selama ini.
“Gita, lihat apa yang aku bawa”. Kata Andra
“Waw. Teropong bintang!” kata Gita sambil memegang tabung besi berlensa itu.
“Ayo kita naik ke atas. Langit sangat cerah malam ini”. Sahut Andra sambil menarik tangan Gita dan menaiki tangga menuju ke balkon
Tak lama, dua bocah yang baru saja lulus sekolah dasar itu sudah asik memandangi langit dari ujung lensa teropong bintang kepunyaan Andra.
“Aku belum pernah melihat bintang sedekat ini Ndra”, kata Gita sambil mengintip dibalik lensa teropong
“Bagus ya Git.” Sahut Andra
“Iya, Coba kamu liat ke sana deh Ndra”. Kata Gita sambil menunjuk ke arah tenggara.
“ Oh, bintang yang paling terang itu? Namanya Sirius. Itu bintang favoritku Git. Tinggi dan terang. Seperti cita-citaku. Eyang sering mengatakan, gantunglah cita-citamu setinggi langit. Maka dari itu aku suka melihat bintang. Karena disitulah cita-citaku.” Jelas Andra
Tak terasa malam kian menghitam. Andra dan Sagita akhirnya berpisah. Mereka harus kembali memejamkan mata. Memimpikan kembali cita-cita mereka. Entah sampai kapan mereka harus bermimpi. Mereka masih terlalu muda. Tapi tak ada yang tak mungkin untuk sebuah cita-cita.
*
20 tahun kemudian................
*
Di sebuah ruangan planetarium.
Seorang pria dengan raut wajah penasaran sedang serius memelototi layar monitor ditengah gelap malam.
Pria itu bukanlah Andra kecil dengan teropong besi yang hampir setiap malam memelototi langit.
Pria itu adalah Andra dewasa yang sekarang menjadi salah satu peneliti Astrologi di Indonesia.
Sekarang ia tidak lagi harus memejamkan sebelah matanya untuk melihat bintang di langit. Dengan teropong digital satu-satunya di Indonesia, ia mencoba mencari tahu benda langit asing yang sudah beberapa minggu ini ia teliti.
Andra meraih telfon genggam yang ada disampingnya.
“Sagita, aku menemukannya!”. Kata Andra
“Menemukan apa Ndra?” diujung telefon Sagita bertanya keheranan
“Benda langit yang kemarin aku ceritakan. Ternyata itu adalah salah satu gugusan bintang baru Git.”. Jelas Andra
“Benarkah? Wah kamu hebat. Menemukan bintang baru itu.”
“Iya. Aku sudah mengirimkan foto dan data penelitianku ke badan antariksa di Amerika. Dan mereka meresponnya. Menyatakan kalau itu gugusan bintang baru”
“Wah, aku bangga dengan kamu Ndra. Lantas kamu namakan apa bintang yang kamu temukan itu?”.
“Sagita”.
*
Setahun berlalu.
Sagita. Teman bermain Andra sejak kecil, tengah sibuk merapikan rumah. Di hari ketiga statusnya sebagai seorang istri.
“Ma, Kamu kenal Andromeda Sastodilogo?”
Sapu ijuk yang sedari tadi berayun-ayun ditangan Sagita tiba-tiba berhenti.
Sagita diam sambil memandang Bima, suaminya.
“Dari mana Papa tau tentang Andromeda Sastrodilogo?”, tanya Sagita setengah kaget kepada suaminya
“Papa tadi baca profil tentang dia. Dari riwayat pendidikan, dia pernah satu sekolah dengan Mama. Dia juga pernah menemukan sebuah gugusan bintang yang ia beri nama Bintang Sagita. Katanya itu adalah nama teman baiknya.” Jelas Bima.
“Hah? .. ehh.. Mama sudah setahun ini tidak mendapat kabar tentang dia. Dia memang pernah cerita tentang penemuannya itu. Tapi setelah itu dia seolah menghilang. Terakhir mama dengar dia mengundurkan diri dari planetarium dan mendapat beasiswa ke Amerika”.
Bima suami Sagita lalu memberikan sebuah surat kabar harian kepada istrinya.
Sagita lalu membuka koran tersebut.
Disitu terpampang foto sesosok pria gagah berpakaian astronot
Perlahan Sagita membaca headline surat kabar itu.
“Andromeda Sastrodilogo. Penemu gugusan bintang Sagita. Akan menjadi orang Indonesia pertama yang pergi ke luar angkasa bersama NASA”.
**
07 Juni 2010
Hujan
Langit jakarta berwarna abu-abu
Butiran air turun tanpa bisa dicegah
Kilatan petir seolah memotret kelakuan kaum metropolis
Kuurungkan niat melawan air hujan yang mengeroyok
Laju motor kuhentikan di sebuah halte yang tak jauh dari kampusku
Untuk sejenak berteduh menunggu air hujan puas menumpahkan bumi
Ternyata aku tak sendiri di halte yang tidak terawat ini
Pedagang asongan yang sedang menahan kantuk.
Anak kecil penjual koran yang sibuk menghitung uang receh
Dan...
Seorang wanita yang nampak basah kuyup, sedang duduk sambil menyilangkan tangannya di dada.
Umurnya mungkin sebaya denganku
Rambutnya panjang, kulitnya putih.
Dan tahi lalat yang menempel indah dibawah bibir merah
Sepertinya ia sedang kedinginan
Aku berjalan ke pedagang asongan yang kaget karena terkena percikan air dari kendaraan yang lewat
Tetap dengan sopan ia menerima tiga lembar uang ribuan dan menukarkannya dengan dua botol minuman ringan.
“Minum dulu mbak”, kataku sambil menyodorkan sebotol minuman ringan kepada wanita yang duduk tadi.
Dengan sedikit kaget dan memandangku aneh, ia berkata “ehh.. gak mas. Terima kasih”
“Ambillah mbak,lumayan bisa sedikit menghangatkan badan. Gak aku kasi macem-macem kok, masih murni”. Mungkin ia mengira aku akan memberinya minuman yang sudah diberi obat penenang atau obat apalah yang bisa membuat ia tak sadarkan diri.
Wanita itu terdiam sejenak.
“Terima kasih”, sahutnya pelan sambil meraih botol minuman yang ada di tanganku.
Lalu aku duduk di sampingnya dan tanpa dikomando kami berdua mulai menikmati setiap tegukan minuman ringan tersebut.
“Mau kemana mbak?”, tanyaku
“Mau pulang kerumah”, jawabnya sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya untuk menghilangkan rasa dingin
“Ohh.. rumahnya di daerah mana?”
“Di bendungan hilir”
“Wah jauh sekali. Mbak darimana?”
“Dari pulang kuliah”
“Oh.. kampusnya dimana?”
“Disitu”, jawabnya sambil menunjuk ke arah selatan halte.
“Lah, saya juga kuliah disitu mbak. Wah berarti kita satu kampus dong. Oh ya, perkenalkan. Namaku Mahendra.” Kataku sambil mengulurkan tangan.
“Namaku Fera”. Sambil dengan pelan ia menyambut uluran tanganku.
“Salam kenal ya. Kamu asli Jakarta Ra?”, tanyaku
“Iya”
“Di Jakarta tinggal dengan siapa?”
“Tinggal dengan Ibu dan kakak”
Suara air hujan yang menghujam atap halte perlahan-lahan hilang.
“Sudah agak reda nih hujannya. Aku duluan yah. Makasih ya minumannya tadi” Kemudian wanita itu berdiri dan berjalan pelan ke arah motornya.
“Oh ok. Hati-hati ya. Sampai jumpa”. Kataku dengan sedikit kecewa.
Langit sudah kehabisan air untuk membasuh bumi, yang berarti harus berakhir juga perbincanganku dengan Fera. Arrgghh, baru kali ini aku benci dengan hujan yang berhenti.
*
Hari ini jadwal kuliahku padat sekali.
Dari pagi sampai sore.
Sebuah kewajiban yang berat tapi harus aku jalani.
Dan sore ini Jakarta yang biasanya panas, memaksa penghuninya untuk berlomba-lomba mencari tempat agar baju mahal mereka tidak basah kuyup.
Halte tak terawat kembali menjadi pilihanku untuk berteduh.
Tak lama sebuah sepeda motor berhenti di depanku
Pengendara sepeda motor itu turun dari motornya dan langsung duduk di sebelahku
“Fera??!”, Kataku setengah kaget ketika melihat pengendara sepeda motor itu membuka helmnya.
“Eh.. halo Ndra.” Sahut pengendara sepeda motor tadi yang ternyata adalah Fera, wanita yang aku kenal dua hari lalu ketika berteduh di halte ini.
“Kamu habis kuliah Ra?” tanyaku
“Yap. Hujan terus nih.” jawab Fera sambil mengelap rambutnya yang basah
“Iyah. Eh kamu kemana-mana sendirian? Ga dianter Ibu atau kakak kamu?”
“Yaelah, aku dah gede kali Ndra. Kalau bisa dikerjain sendiri ngapain butuh bantuin orang lain.”
“Ga bareng kakak kamu?”
“Kakakku kerja di perusahaan pembiayaan yang kantornya ga di daerah sini. Kalau ibuku menjahit di rumah”
“Oh.. begitu”
“Iya, Mama dan kakakku harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dan membiayai kuliahku. Kalau sedang libur aku membuat coklat dan aku titipkan di Kantin kampus” jelasnya sedikit curhat
“Trus Papa kamu kemana?” tanyaku lagi
Fera terdiam sejenak. Raut wajahnya sedikit berubah
“Papa menikah lagi dengan perempuan lain”, jawabnya lirih
“Oh.. maaf ya kalo kamu jadi teringat dengan kejadian yang lalu”
“Gak papa kok. Eh kamu mau minum? Aku yang traktir deh kali ini.”, tanyanya sambil memanggil pedagang asongan yang duduk tak jauh dari tempat kami.
“Boleh deh”, jawabku
Aku memandangi Fera yang sedang membeli minuman ringan.
Ia cantik
Dan rambut basahnya itu membuatnya semakin menarik
“Hei, kenapa kamu melihatku seperti itu?”, tanya Fera sambil memberikan sebotol minuman ringan
“Oh eh, gak papa kok. Kamu sudah punya pacar?”, jawabku sedikit gugup
“Hah?! Kenapa kamu tanya gitu?”. Tanya Fera sedikit kaget
“Ya gak papa, heran aja cewek secantik kamu kemana-mana sendirian. Kehujanan kepanasan”, jawabku enteng
“Yee, emang gak boleh apa. Aku tuh ga punya pacar. Jadi kemana-mana bebas.”, jawabnya sambil memukul pelan lenganku.
“Ohh.. kirain. Padahal cewek secantik kamu gampang lho dapet cowok. Mau yang mana aja tinggal pilih deh”
“Ah, gak juga. Percuma juga kalau punya cowok tapi hanya main-main. Buang-buang waktu. Nah trus kalau kamu gimana? Sepertinya kamu tipe-tipe yang banyak disukai wanita”
“Hmm.. ya sih. Lagi laris nih aku. Banyak banget yang ngejar-ngejar aku. Ada lima orang”, kataku sambil tersenyum kecil
“Hueek.. iya gitu lima orang?! Tapi bencong semua ya?” Kata Fera
“Enak aja!” kataku sambil memukul pelan lengannya yang basah.
Dan kali ini kerasnya suara air hujan yg menghujam atap halte terpaksa menyerah dengan kerasnya suara tawa kami berdua.
Tubuh kami pun seolah kebal dengan dingin yang menyengat
Ah.. jangan hentikan air hujan ini wahai langit
Aku masih ingin mendengar tawa renyah Fera.
*
Aku dan Fera selalu bertemu di halte ini
Namun sudah beberapa kali aku berteduh, aku tidak bertemu dengan Fera.
Kemana dia??
Aku sudah mencoba mencarinya di kampus tapi tidak menemui hasil
Hujan sudah reda.
Aku masih duduk di halte ini.
Mungkin hari ini aku beruntung bisa bertemu dengan Fera.
Aku kangen dengan senyum dan tawa renyahnya
Tak lama, Akbar teman sekampusku menghampiri sambil menepuk bahuku.
“Hei Bro! Ngapain lu bengong disini??”
“Oh, eh. Berteduh bro, hujan deres banget tadi.” Jawabku sedikit kaget.
“Oh, eh lu udah liat video mesum yang lagi heboh di kampus kita?”, tanya Akbar pelan
“Hah? Belum. Video mesum apa?”, tanyaku penasaran
“Salah satu mahasiswi kampus kita bro. Tapi aku ga tau siapa dia. Kurang terkenal kayaknya. Aku ada videonya nih. Bentar ya”. Jawab Akbar sambil mengeluarkan handphone buatan china yang modelnya mirip dengan salah satu smartphone yang lagi trend.
“Nih.. nih. coba lihat” , katanya sambil memperlihatkan video yang diputar di layar hp nya.
Lalu aku perhatikan video berdurasi dua menit itu dengan seksama.
Terlihat pria dan wanita sedang melakukan adegan yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri. Si wanita mendominasi di video itu, dan... eh.. wajah wanita itu. Tahi lalat itu?
“Anjritt! Ini kan Fera!!”
Butiran air turun tanpa bisa dicegah
Kilatan petir seolah memotret kelakuan kaum metropolis
Kuurungkan niat melawan air hujan yang mengeroyok
Laju motor kuhentikan di sebuah halte yang tak jauh dari kampusku
Untuk sejenak berteduh menunggu air hujan puas menumpahkan bumi
Ternyata aku tak sendiri di halte yang tidak terawat ini
Pedagang asongan yang sedang menahan kantuk.
Anak kecil penjual koran yang sibuk menghitung uang receh
Dan...
Seorang wanita yang nampak basah kuyup, sedang duduk sambil menyilangkan tangannya di dada.
Umurnya mungkin sebaya denganku
Rambutnya panjang, kulitnya putih.
Dan tahi lalat yang menempel indah dibawah bibir merah
Sepertinya ia sedang kedinginan
Aku berjalan ke pedagang asongan yang kaget karena terkena percikan air dari kendaraan yang lewat
Tetap dengan sopan ia menerima tiga lembar uang ribuan dan menukarkannya dengan dua botol minuman ringan.
“Minum dulu mbak”, kataku sambil menyodorkan sebotol minuman ringan kepada wanita yang duduk tadi.
Dengan sedikit kaget dan memandangku aneh, ia berkata “ehh.. gak mas. Terima kasih”
“Ambillah mbak,lumayan bisa sedikit menghangatkan badan. Gak aku kasi macem-macem kok, masih murni”. Mungkin ia mengira aku akan memberinya minuman yang sudah diberi obat penenang atau obat apalah yang bisa membuat ia tak sadarkan diri.
Wanita itu terdiam sejenak.
“Terima kasih”, sahutnya pelan sambil meraih botol minuman yang ada di tanganku.
Lalu aku duduk di sampingnya dan tanpa dikomando kami berdua mulai menikmati setiap tegukan minuman ringan tersebut.
“Mau kemana mbak?”, tanyaku
“Mau pulang kerumah”, jawabnya sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya untuk menghilangkan rasa dingin
“Ohh.. rumahnya di daerah mana?”
“Di bendungan hilir”
“Wah jauh sekali. Mbak darimana?”
“Dari pulang kuliah”
“Oh.. kampusnya dimana?”
“Disitu”, jawabnya sambil menunjuk ke arah selatan halte.
“Lah, saya juga kuliah disitu mbak. Wah berarti kita satu kampus dong. Oh ya, perkenalkan. Namaku Mahendra.” Kataku sambil mengulurkan tangan.
“Namaku Fera”. Sambil dengan pelan ia menyambut uluran tanganku.
“Salam kenal ya. Kamu asli Jakarta Ra?”, tanyaku
“Iya”
“Di Jakarta tinggal dengan siapa?”
“Tinggal dengan Ibu dan kakak”
Suara air hujan yang menghujam atap halte perlahan-lahan hilang.
“Sudah agak reda nih hujannya. Aku duluan yah. Makasih ya minumannya tadi” Kemudian wanita itu berdiri dan berjalan pelan ke arah motornya.
“Oh ok. Hati-hati ya. Sampai jumpa”. Kataku dengan sedikit kecewa.
Langit sudah kehabisan air untuk membasuh bumi, yang berarti harus berakhir juga perbincanganku dengan Fera. Arrgghh, baru kali ini aku benci dengan hujan yang berhenti.
*
Hari ini jadwal kuliahku padat sekali.
Dari pagi sampai sore.
Sebuah kewajiban yang berat tapi harus aku jalani.
Dan sore ini Jakarta yang biasanya panas, memaksa penghuninya untuk berlomba-lomba mencari tempat agar baju mahal mereka tidak basah kuyup.
Halte tak terawat kembali menjadi pilihanku untuk berteduh.
Tak lama sebuah sepeda motor berhenti di depanku
Pengendara sepeda motor itu turun dari motornya dan langsung duduk di sebelahku
“Fera??!”, Kataku setengah kaget ketika melihat pengendara sepeda motor itu membuka helmnya.
“Eh.. halo Ndra.” Sahut pengendara sepeda motor tadi yang ternyata adalah Fera, wanita yang aku kenal dua hari lalu ketika berteduh di halte ini.
“Kamu habis kuliah Ra?” tanyaku
“Yap. Hujan terus nih.” jawab Fera sambil mengelap rambutnya yang basah
“Iyah. Eh kamu kemana-mana sendirian? Ga dianter Ibu atau kakak kamu?”
“Yaelah, aku dah gede kali Ndra. Kalau bisa dikerjain sendiri ngapain butuh bantuin orang lain.”
“Ga bareng kakak kamu?”
“Kakakku kerja di perusahaan pembiayaan yang kantornya ga di daerah sini. Kalau ibuku menjahit di rumah”
“Oh.. begitu”
“Iya, Mama dan kakakku harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dan membiayai kuliahku. Kalau sedang libur aku membuat coklat dan aku titipkan di Kantin kampus” jelasnya sedikit curhat
“Trus Papa kamu kemana?” tanyaku lagi
Fera terdiam sejenak. Raut wajahnya sedikit berubah
“Papa menikah lagi dengan perempuan lain”, jawabnya lirih
“Oh.. maaf ya kalo kamu jadi teringat dengan kejadian yang lalu”
“Gak papa kok. Eh kamu mau minum? Aku yang traktir deh kali ini.”, tanyanya sambil memanggil pedagang asongan yang duduk tak jauh dari tempat kami.
“Boleh deh”, jawabku
Aku memandangi Fera yang sedang membeli minuman ringan.
Ia cantik
Dan rambut basahnya itu membuatnya semakin menarik
“Hei, kenapa kamu melihatku seperti itu?”, tanya Fera sambil memberikan sebotol minuman ringan
“Oh eh, gak papa kok. Kamu sudah punya pacar?”, jawabku sedikit gugup
“Hah?! Kenapa kamu tanya gitu?”. Tanya Fera sedikit kaget
“Ya gak papa, heran aja cewek secantik kamu kemana-mana sendirian. Kehujanan kepanasan”, jawabku enteng
“Yee, emang gak boleh apa. Aku tuh ga punya pacar. Jadi kemana-mana bebas.”, jawabnya sambil memukul pelan lenganku.
“Ohh.. kirain. Padahal cewek secantik kamu gampang lho dapet cowok. Mau yang mana aja tinggal pilih deh”
“Ah, gak juga. Percuma juga kalau punya cowok tapi hanya main-main. Buang-buang waktu. Nah trus kalau kamu gimana? Sepertinya kamu tipe-tipe yang banyak disukai wanita”
“Hmm.. ya sih. Lagi laris nih aku. Banyak banget yang ngejar-ngejar aku. Ada lima orang”, kataku sambil tersenyum kecil
“Hueek.. iya gitu lima orang?! Tapi bencong semua ya?” Kata Fera
“Enak aja!” kataku sambil memukul pelan lengannya yang basah.
Dan kali ini kerasnya suara air hujan yg menghujam atap halte terpaksa menyerah dengan kerasnya suara tawa kami berdua.
Tubuh kami pun seolah kebal dengan dingin yang menyengat
Ah.. jangan hentikan air hujan ini wahai langit
Aku masih ingin mendengar tawa renyah Fera.
*
Aku dan Fera selalu bertemu di halte ini
Namun sudah beberapa kali aku berteduh, aku tidak bertemu dengan Fera.
Kemana dia??
Aku sudah mencoba mencarinya di kampus tapi tidak menemui hasil
Hujan sudah reda.
Aku masih duduk di halte ini.
Mungkin hari ini aku beruntung bisa bertemu dengan Fera.
Aku kangen dengan senyum dan tawa renyahnya
Tak lama, Akbar teman sekampusku menghampiri sambil menepuk bahuku.
“Hei Bro! Ngapain lu bengong disini??”
“Oh, eh. Berteduh bro, hujan deres banget tadi.” Jawabku sedikit kaget.
“Oh, eh lu udah liat video mesum yang lagi heboh di kampus kita?”, tanya Akbar pelan
“Hah? Belum. Video mesum apa?”, tanyaku penasaran
“Salah satu mahasiswi kampus kita bro. Tapi aku ga tau siapa dia. Kurang terkenal kayaknya. Aku ada videonya nih. Bentar ya”. Jawab Akbar sambil mengeluarkan handphone buatan china yang modelnya mirip dengan salah satu smartphone yang lagi trend.
“Nih.. nih. coba lihat” , katanya sambil memperlihatkan video yang diputar di layar hp nya.
Lalu aku perhatikan video berdurasi dua menit itu dengan seksama.
Terlihat pria dan wanita sedang melakukan adegan yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri. Si wanita mendominasi di video itu, dan... eh.. wajah wanita itu. Tahi lalat itu?
“Anjritt! Ini kan Fera!!”
21 April 2010
Oentoek Negeri dan Adindakoe
Tangan keriputnya memegang selembar foto hitam putih yang nampak usang dan terlipat.
Foto bergambar seorang laki-laki berperawakan tinggi, gagah, berpakaian tentara perjuangan tempo dulu, memegang senjata laras panjang, lengkap dengan bendera merah putih yang terikat di lengan kanannya.
Dibelakang lembaran foto itu terdapat tulisan tangan yg sudah agak luntur, namun masih bisa terbaca jelas : "oentoek adindakoe".
Lelehan air mata mulai membasahi pipi tirus perempuan tua itu.
Nampaknya foto tersebut meninggalkan sebuah kenangan yang begitu berarti baginya.
Apakah karena sosok laki-laki yang ada di foto itu?
Siapa laki-laki itu?
Perempuan tua itu mencoba mengingat dan menceritakan tentang laki-laki yang ada di dalam foto tersebut....
............
Tahun 1942.
Laki-laki itu sering datang ke tokoku.
Toko kelontong yang letaknya bersebelahan dengan markas tentara perjuangan.
Dan entah kenapa laki-laki itu selalu datang pada saat giliranku yang menjaga toko.
Suatu siang.
Laki-laki itu sudah berdiri di depan tokoku.
Belum sempat ia berbicara, tanganku menyodorkan sebungkus sabun cuci kepadanya.
Dengan mimik heran ia bertanya, "Darimana kamu tau aku mau beli sabun cuci?"
"Tiap satu minggu sekali kamu pasti membeli sabun cuci. Dan seingatku terakhir kamu membeli sabun cuci adalah hari jum'at minggu yang lalu. Pasti sekarang sabun cucimu sudah habis. nih....", jawabku sambil menyodorkan lagi bungkusan sabun cuci itu kepadanya.
"Wah, selain toko ini lengkap, toko ini juga tau ya kapan aku akan datang lagi ke toko ini.", ujar laki-laki itu sambil mengambil bungkusan sabun cuci yang ada di tanganku.
"yaa, karena kamu sering berbelanja disini, sampai-sampai aku hapal apa yg akan kamu beli."
"Hampir setiap hari aku datang ke toko ini, tapi aku tidak pernah tahu nama kamu. kenalkan, namaku Mahesa." kata laki-laki itu sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Namaku Adinda, panggil saja Dinda". jawabku sambil menyalami tangannya.
Itulah awal perkenalanku dengan laki-laki tersebut.
Namanya Mahesa.
Karena seringnya kami bertemu dan berbincang, akhirnya kami saling menyukai dan jatuh cinta.
*
Pada waktu itu tentara Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan perlawanan dengan Belanda.
Dan di sore hari yang gak bisa aku lupakan itu, Mahesa datang dengan wajah letih.
Lalu ia duduk di atas peti tempat menyimpan gandum.
"Besok aku akan berangkat bertempur dinda..", Mahesa memulai pembicaraan sambil menyeka keringat yang ada di wajahnya.
"Bertempur dimana mas?", tanyaku sambil membereskan barang dagangan.
"Aku akan ke markas Belanda yang ada di selatan kota. Pasukan kita sudah terdesak disana. Tidak ada jalan lain selain menghancurkan markas Belanda tersebut."
Aku berhenti membereskan dagangan dan berjalan menuju ke tempat Mahesa duduk.
"Hati-hati ya mas. sepertinya keadaannya sangat gawat sekali." kataku sambil membantu membersihkan keringat yang ada di wajah Mahesa.
"Aku akan baik-baik saja Dinda. Aku sudah terlatih untuk menghadapi keadaan yang gawat. Demi negara ini, aku rela melakukan apa saja!"
Semenjak berkenalan dengan Mahesa, baru kali ini aku akan ditinggal bertempur.
Aku berdoa semoga dia dan pasukannya akan baik-baik saja, dan membawa kabar baik buat negara ini.
*
Pagi itu sebelum berangkat, Mahesa datang ke tokoku.
Ia tampak gagah sekali dengan seragam tentaranya.
"Dinda, aku berangkat ya. Doakan kami supaya bisa mengalahkan Belanda dan kembali dengan selamat". kata Mahesa memegang bahuku dengan kedua tangannya.
Dengan sedikit menahan tangis aku berkata, "Iya mas, semoga semua baik-baik saja. hati-hati ya mas. Aku akan selalu menunggu kepulanganmu dengan membawa kabar baik."
"Aku pasti akan pulang Dinda, aku akan kalahkan Belanda itu. Aku akan melakukan apa saja demi negeri ini!"
Lalu ia memelukku..
Air mata itu pun tak bisa lagi aku tahan.
"Oh ya Dinda, aku ingin memberimu ini.", Mahesa mengeluarkan selembar foto dari kantong bajunya dan memberikannya kepadaku.
Foto dirinya berpakaian seragam tentara lengkap, dengan bendera merah putih terikat di lengan yang sudah menjadi ciri khasnya.
"Aku akan menunggumu mas. hati-hati.."
*
Sudah satu minggu semenjak kepergian Mahesa bertempur.
Dan sudah satu minggu tidak ada kabar tentang ia dan pasukannya.
Aku pun sudah mencoba mendatangi markas tentara perjuangan yang ada di sebelah tokoku, namun tak ada satupun kabar berita yang bisa aku dapatkan.
Hingga pada suatu sore aku melihat lima orang tentara perjuangan datang.
Pakaian mereka tampak sangat lusuh dan kotor.
Ada dua orang dari mereka yang terpaksa dipapah karena kakinya terluka.
Bukankah itu tentara yang berangkat bersama-sama Mahesa? Mereka sudah kembali, tapi kenapa hanya berlima? Kemana Mahesa?
Aku lalu bergegas lari menuju rombongan tentara tersebut. Toko pun aku tinggalkan begitu saja.
Dengan nafas yang masih terengah-engah aku bertanya kepada mereka, "Dimana Mahesa??!!"
Mereka diam, dan saling melihat satu sama lain.
Lalu salah seorang dari mereka berkata, "Dinda. Kami berhasil mengalahkan Belanda dan menguasai markas mereka. Dan kalau tanpa pengorbanan Mahesa, mustahil kami bisa ada disini dan mengabarkan berita baik ini."
"Maksudnya??!!", aku bertanya dengan perasaan yang tidak karuan.
"Begini ceritanya. Saat itu kami berhasil mendesak mundur pasukan Belanda ke dalam markasnya. Tetapi tiba-tiba pasukan Belanda membalas dengan rentetan tembakan. Dan celakanya, persediaan amunisi kami sudah hampir habis dan tidak mungkin lagi untuk membalas tembakan pasukan Belanda tersebut. Lalu Mahesa menghampiriku dan berkata bahwa ia masih mempunyai dua buah granat dan itu cukup untuk menghancurkan markas Belanda tersebut. Tapi karena posisi kami yang agak jauh, sehingga kalaupun granat itu kami lempar, tidak akan bisa sampai ke dalam markas Belanda. Kemudian Mahesa berkata bahwa ia akan lari masuk ke dalam markas lalu meledakkan granat itu di depan pasukan Belanda. Kami kaget dan sempat melarangnya, tetapi ia tetap bersikukuh bahwa hal itu harus ia lakukan. Karena tinggal selangkah lagi untuk mengalahkan dan menguasai markas Belanda. Ia sempat berkata kepadaku, bahwa ia akan melakukan apa saja demi negara ini. Kemudian Mahesa menyelinap masuk ke dalam markas dan kami sempat mendengar rentetan tembakan dari dalam dan tak lama kemudian markas tentara Belanda itu meledak dan hancur berkeping-keping. Semua tentara Belanda mati akibat ledakan tersebut. Lalu kami masuk dan menemukan tubuh Mahesa yang hancur. Kami tidak tahu harus senang atau sedih dengan kejadiani ini. Maafkan kami Dinda, kami tidak bisa mencegahnya."
..............
Perlahan-lahan perempuan tua itu berdiri dari kursi rotan pemberian tetangganya.
Ia melangkah pelan menuju ke dalam kamar tidur.
Sepasang kaki jenjang yang dulu kuat berjalan puluhan kilometer terlihat masih cukup kuat menopang badan kurusnya.
Tak lama kemudian perempuan tua itu keluar dengan membawa sebuah kotak kecil.
Kotak yang sudah ia simpan berpuluh-puluh tahun lamanya.
Dibukanya kotak berwarna kecoklatan yang sudah agak lapuk itu, lalu ia mengeluarkan isinya.
Selembar bendera merah putih yang tampak lusuh dan berwarna kecoklatan.
Bendera itulah yang dipakai di lengan kanan laki-laki yang ada di dalam foto tadi.
Diciumnya bendera lusuh itu.
Lalu ia kembali menangis.
Sampai saat ini perempuan tua itu hidup seorang diri.
Ia tidak mempunyai suami, apalagi mempunyai anak.
Menurutnya, ia hidup dengan cinta sejati.
Dan ia bangga dengan cinta sejatinya itu.
**
Title : Oentoek Negeri dan Adindakoe
Release Free : 17 Agustus 2009
Foto bergambar seorang laki-laki berperawakan tinggi, gagah, berpakaian tentara perjuangan tempo dulu, memegang senjata laras panjang, lengkap dengan bendera merah putih yang terikat di lengan kanannya.
Dibelakang lembaran foto itu terdapat tulisan tangan yg sudah agak luntur, namun masih bisa terbaca jelas : "oentoek adindakoe".
Lelehan air mata mulai membasahi pipi tirus perempuan tua itu.
Nampaknya foto tersebut meninggalkan sebuah kenangan yang begitu berarti baginya.
Apakah karena sosok laki-laki yang ada di foto itu?
Siapa laki-laki itu?
Perempuan tua itu mencoba mengingat dan menceritakan tentang laki-laki yang ada di dalam foto tersebut....
............
Tahun 1942.
Laki-laki itu sering datang ke tokoku.
Toko kelontong yang letaknya bersebelahan dengan markas tentara perjuangan.
Dan entah kenapa laki-laki itu selalu datang pada saat giliranku yang menjaga toko.
Suatu siang.
Laki-laki itu sudah berdiri di depan tokoku.
Belum sempat ia berbicara, tanganku menyodorkan sebungkus sabun cuci kepadanya.
Dengan mimik heran ia bertanya, "Darimana kamu tau aku mau beli sabun cuci?"
"Tiap satu minggu sekali kamu pasti membeli sabun cuci. Dan seingatku terakhir kamu membeli sabun cuci adalah hari jum'at minggu yang lalu. Pasti sekarang sabun cucimu sudah habis. nih....", jawabku sambil menyodorkan lagi bungkusan sabun cuci itu kepadanya.
"Wah, selain toko ini lengkap, toko ini juga tau ya kapan aku akan datang lagi ke toko ini.", ujar laki-laki itu sambil mengambil bungkusan sabun cuci yang ada di tanganku.
"yaa, karena kamu sering berbelanja disini, sampai-sampai aku hapal apa yg akan kamu beli."
"Hampir setiap hari aku datang ke toko ini, tapi aku tidak pernah tahu nama kamu. kenalkan, namaku Mahesa." kata laki-laki itu sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
"Namaku Adinda, panggil saja Dinda". jawabku sambil menyalami tangannya.
Itulah awal perkenalanku dengan laki-laki tersebut.
Namanya Mahesa.
Karena seringnya kami bertemu dan berbincang, akhirnya kami saling menyukai dan jatuh cinta.
*
Pada waktu itu tentara Indonesia sedang gencar-gencarnya melakukan perlawanan dengan Belanda.
Dan di sore hari yang gak bisa aku lupakan itu, Mahesa datang dengan wajah letih.
Lalu ia duduk di atas peti tempat menyimpan gandum.
"Besok aku akan berangkat bertempur dinda..", Mahesa memulai pembicaraan sambil menyeka keringat yang ada di wajahnya.
"Bertempur dimana mas?", tanyaku sambil membereskan barang dagangan.
"Aku akan ke markas Belanda yang ada di selatan kota. Pasukan kita sudah terdesak disana. Tidak ada jalan lain selain menghancurkan markas Belanda tersebut."
Aku berhenti membereskan dagangan dan berjalan menuju ke tempat Mahesa duduk.
"Hati-hati ya mas. sepertinya keadaannya sangat gawat sekali." kataku sambil membantu membersihkan keringat yang ada di wajah Mahesa.
"Aku akan baik-baik saja Dinda. Aku sudah terlatih untuk menghadapi keadaan yang gawat. Demi negara ini, aku rela melakukan apa saja!"
Semenjak berkenalan dengan Mahesa, baru kali ini aku akan ditinggal bertempur.
Aku berdoa semoga dia dan pasukannya akan baik-baik saja, dan membawa kabar baik buat negara ini.
*
Pagi itu sebelum berangkat, Mahesa datang ke tokoku.
Ia tampak gagah sekali dengan seragam tentaranya.
"Dinda, aku berangkat ya. Doakan kami supaya bisa mengalahkan Belanda dan kembali dengan selamat". kata Mahesa memegang bahuku dengan kedua tangannya.
Dengan sedikit menahan tangis aku berkata, "Iya mas, semoga semua baik-baik saja. hati-hati ya mas. Aku akan selalu menunggu kepulanganmu dengan membawa kabar baik."
"Aku pasti akan pulang Dinda, aku akan kalahkan Belanda itu. Aku akan melakukan apa saja demi negeri ini!"
Lalu ia memelukku..
Air mata itu pun tak bisa lagi aku tahan.
"Oh ya Dinda, aku ingin memberimu ini.", Mahesa mengeluarkan selembar foto dari kantong bajunya dan memberikannya kepadaku.
Foto dirinya berpakaian seragam tentara lengkap, dengan bendera merah putih terikat di lengan yang sudah menjadi ciri khasnya.
"Aku akan menunggumu mas. hati-hati.."
*
Sudah satu minggu semenjak kepergian Mahesa bertempur.
Dan sudah satu minggu tidak ada kabar tentang ia dan pasukannya.
Aku pun sudah mencoba mendatangi markas tentara perjuangan yang ada di sebelah tokoku, namun tak ada satupun kabar berita yang bisa aku dapatkan.
Hingga pada suatu sore aku melihat lima orang tentara perjuangan datang.
Pakaian mereka tampak sangat lusuh dan kotor.
Ada dua orang dari mereka yang terpaksa dipapah karena kakinya terluka.
Bukankah itu tentara yang berangkat bersama-sama Mahesa? Mereka sudah kembali, tapi kenapa hanya berlima? Kemana Mahesa?
Aku lalu bergegas lari menuju rombongan tentara tersebut. Toko pun aku tinggalkan begitu saja.
Dengan nafas yang masih terengah-engah aku bertanya kepada mereka, "Dimana Mahesa??!!"
Mereka diam, dan saling melihat satu sama lain.
Lalu salah seorang dari mereka berkata, "Dinda. Kami berhasil mengalahkan Belanda dan menguasai markas mereka. Dan kalau tanpa pengorbanan Mahesa, mustahil kami bisa ada disini dan mengabarkan berita baik ini."
"Maksudnya??!!", aku bertanya dengan perasaan yang tidak karuan.
"Begini ceritanya. Saat itu kami berhasil mendesak mundur pasukan Belanda ke dalam markasnya. Tetapi tiba-tiba pasukan Belanda membalas dengan rentetan tembakan. Dan celakanya, persediaan amunisi kami sudah hampir habis dan tidak mungkin lagi untuk membalas tembakan pasukan Belanda tersebut. Lalu Mahesa menghampiriku dan berkata bahwa ia masih mempunyai dua buah granat dan itu cukup untuk menghancurkan markas Belanda tersebut. Tapi karena posisi kami yang agak jauh, sehingga kalaupun granat itu kami lempar, tidak akan bisa sampai ke dalam markas Belanda. Kemudian Mahesa berkata bahwa ia akan lari masuk ke dalam markas lalu meledakkan granat itu di depan pasukan Belanda. Kami kaget dan sempat melarangnya, tetapi ia tetap bersikukuh bahwa hal itu harus ia lakukan. Karena tinggal selangkah lagi untuk mengalahkan dan menguasai markas Belanda. Ia sempat berkata kepadaku, bahwa ia akan melakukan apa saja demi negara ini. Kemudian Mahesa menyelinap masuk ke dalam markas dan kami sempat mendengar rentetan tembakan dari dalam dan tak lama kemudian markas tentara Belanda itu meledak dan hancur berkeping-keping. Semua tentara Belanda mati akibat ledakan tersebut. Lalu kami masuk dan menemukan tubuh Mahesa yang hancur. Kami tidak tahu harus senang atau sedih dengan kejadiani ini. Maafkan kami Dinda, kami tidak bisa mencegahnya."
..............
Perlahan-lahan perempuan tua itu berdiri dari kursi rotan pemberian tetangganya.
Ia melangkah pelan menuju ke dalam kamar tidur.
Sepasang kaki jenjang yang dulu kuat berjalan puluhan kilometer terlihat masih cukup kuat menopang badan kurusnya.
Tak lama kemudian perempuan tua itu keluar dengan membawa sebuah kotak kecil.
Kotak yang sudah ia simpan berpuluh-puluh tahun lamanya.
Dibukanya kotak berwarna kecoklatan yang sudah agak lapuk itu, lalu ia mengeluarkan isinya.
Selembar bendera merah putih yang tampak lusuh dan berwarna kecoklatan.
Bendera itulah yang dipakai di lengan kanan laki-laki yang ada di dalam foto tadi.
Diciumnya bendera lusuh itu.
Lalu ia kembali menangis.
Sampai saat ini perempuan tua itu hidup seorang diri.
Ia tidak mempunyai suami, apalagi mempunyai anak.
Menurutnya, ia hidup dengan cinta sejati.
Dan ia bangga dengan cinta sejatinya itu.
**
Title : Oentoek Negeri dan Adindakoe
Release Free : 17 Agustus 2009
11 April 2010
The Story of "Creative Junkies" book cover
Foto saya dengan Buku Creative Junkies by Yoris Sebastian
Mengapa saya taruh buku itu menempel di kepala sebelah kanan?
maksudnya adalah, bahwa isi buku ini sangat mempengaruhi otak kanan saya dalam melatih kreativitas dan melahirkan ide-ide baru yg inovatif.
Saya tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk mewarnai cover buku ini.
Ide Yoris Sebastian membuat cover buku ini sesimple mungkin, memang sangat brilian. Membaca timeline di twitter @yoris ,tentang wartawan yang mewarnai cover buku ini pada saat launching, menggugah saya untuk ikut mewarnai cover buku ini.
Terinspirasi dari isi buku ini di Chapter 3, akhirnya saya menemukan media untuk mewarnai buku ini :
- Limbah Buangan Tinta Printer (yang biasanya ada di bagian belakang printer dengan sistem infus)
- Tutup botol bekas minuman ringan (untuk menampung tinta)
- Sebatang lidi bekas (untuk meratakan tinta)
Berapa biaya yang saya keluarkan untuk semua ini?? Rp. 0 !!
Bahkan saya membantu mengurangi limbah buangan tinta yang biasanya mengotori parit depan rumah saya. kalau dalam jumlah banyak, tinta ini bisa mencemari air di sekitar kita.
Saya memberi ide di cover buku ini
Limbah buangan tinta printer yang hanya berwarna hitam itu, memang membuat saya tidak bisa berkreasi dengan banyak warna. makanya tak heran kalau mungkin cover buku saya tidak terlalu sedap dipandang. tapi disini saya ingin melatih kita melihat sesuatu dari berbagai sisi. okelah kalau cover buku saya hanya berwarna hitam putih, tapi coba kita lihat dengan hitam putihnya cover itu, saya bisa membantu mengurangi limbah yang terbuang di lingkungan kita. uang yang seharusnya bisa saya pergunakan untuk membeli spidol/crayon kualitas terbaik, bisa saya sumbangkan untuk anak anak penderita kanker, atau lembaga sosial lainnya.
lalu apakah kemudian kreativitas saya berkurang atau berhenti sampai disitu? tidak!
perhatikan bagian yang saya beri lingkaran kuning di cover buku ini :
Sekilas bagian yang saya lingkari tersebut seperti tanda seru (!)
maksudnya adalah : dalam berkreativitas, ide yang kita hasilkan harus bisa mencuri perhatian orang lain dan membuat orang lain terpesona dengan ide kita. tanda seru(!) biasanya digunakan untuk penegasan sesuatu.misal : awas!, diam!, jongkok!, dsb.
untungnya cover ini disertai grafis orang orang dengan ekspresi kaget, terkejut. jadilah saya memasukkan banyak sekali tanda seru di cover ini, yang artinya banyak sekali ide ide yang membuat orang-orang tersebut terkejut dan terpesona. kalau mereka sudah terpesona, dengan sendirinya mereka akan bergumam : OH MY GOODNESS! (dengan tanda seru tentunya).
tanda seru tersebut juga saya modifikasi dengan angka satu (1).
maksudnya adalah. ide yang mengagetkan dan mengagumkan tersebut, adalah ide ide nomor 1 atau ide ide terbaik, ide ide berkelas.
tanda seru yang saya modifikasi dengan angka 1 tersebut mungkin juga bisa menjadi logo untuk branding agar kita selalu menghasilkan ide ide kelas wahid (1) ide ide terbaik, yang membuat orang terkejut, kagum, dan berteriak : OH MY GOODNESS!
Terima kasih Yoris Sebastian
Yoris Sebastian dan buku Creative Junkies nya ini memberikan banyak pencerahan bagi saya pribadi dan bagi anda, tentang bagaimana untuk melatih sebuah kreativitas utk menghasilkan ide brilian dan orisinil. Yoris menunjukkan bahwa siapapun bisa menjadi orang yang kreatif. Bahkan dengan segala keterbatasan dan masalah yang dihadapi. pasti ada peluang dibaliknya.
Sebagai rasa terima kasih saya kepada pengarang buku ini, saya hadiahkan kaos berlogo "Satu Seru" (begitu saya menyebutnya) di cover belakang buku anda. :)
Bambang Heru Sulaksono
Balikpapan - Kalimantan Timur
e-mail : heru.sulaksono@gmail.com
twitter : @danheru
Langganan:
Postingan (Atom)